Demokrasi Anti Kritik, Saatnya Dimusnahkan

Oleh. Netty al Kayyisa

 

 

LenSa MediaNews__  Aksi protes yang bertema #PeringatanDarurat yang terjadi di sejumlah kota pada hari Kamis, 22 Agustus 2024, termasuk di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Makasar memakan sejumlah korban. Sebagaimana yang diberitakan di Amnesty.id (22-8-2024) aksi yang ditanggapi aparat dengan penggunaan kekerasan mengakibatkan sejumlah orang terluka dan harus dilarikan ke rumah sakit. Misalnya di Jakarta, belasan orang ditangkap termasuk staf Lembaga Bantuan Hukum Jakarta serta Direktur Lokataru, mahasiswa dari Paramadina dan UHAMKA, juga jurnalis dari berbagai media. Di Bandung, polisi tertangkap kamera mengejar dan memukul pengunjuk rasa dengan tongkat dan menginjaknya. Bahkan mahasiswa dari Universitas Bale Bandung mengalami cidera mata kiri dan harus dioperasi akibat terkena lemparan batu dari arah DPRD Jawa Barat. Demikian pula yan terjadi di Semarang, setidaknya ada 15 mahasiwa dari berbagai kampus yang terluka karena tembakan gas air mata.

 

Kisah tragis pendemo tak hanya sekali ini. Setiap ada aksi unjuk rasa selalu berujung pada keributan dan tindakan represif aparat. Meski tindakan pendemo yang menyulut kemarahan dan pengrusakan fasilitas umum seperti pagar dan taman tidak bisa dibenarkan, seharusnya kekerasan ini tidak pernah terjadi. Terlebih negara yang mengusung konsep kebebasan menyampaikan pendapat sebagai prinsip yang harus dipegang ketika menerapkan sistem kapitalisme dalam kehidupan.

 

Tindakan represif dari aparat ini setidaknya menggambarkan tiga hal. Pertama, aparat sebagai perpanjangan tangan penguasa sekaligus penjaga sistem hari ini mengakui kesalahan yang mereka perbuat yang sedang dituntut oleh pendemo. Jika keputusan mereka benar, telah berjalan sesuai dengan jalur hukum yang seharusnya, semestinya mereka tak perlu cemas atau bertindak berlebihan yang semakin meyakinkan massa tentang kesalahan mereka.

 

Kedua, penguasa dan aparat yang menjaganya anti terhadap kritik warga. Jika mereka terbuka, maka seharusnya memberikan ruang dan menjamin keamanan warga yang sedang menyampaikan aspirasinya. Bahkan menerima kedatangan mereka dengan tangan terbuka, bersedia berdiskusi dan menyampaikan argumentasi yang menguatkan keputusannya. Sayangnya, penguasa dan aparat bersembunyi di balik topeng kebebasan menyampaikan pendapat padahal yang sebenarnya anti terhadap kritik masyarakat.

 

Ketiga, penguasa dan aparat hari ini represif. Setiap pendapaat yang bertentangan dengan kehendaknya akan dibungkam dan diancam dengan kekerasan. Jika tidak represif, maka tidak perlu menghadapi rakyat dengan kekuatan karena rakyat bukan musuh penguasa tetapi warga negara yang harus dilindungi keamanannya, didengar aspirasinya, dan diurusi seluruh kebutuhannya. Sayangnya, penguasa hari ini tak menyadari fungsi penguasa yang seharusnya. Sehingga rela baku hantam dengan warganya demi menjunjung dan melindungi kekuasan yang ada.

 

Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang diperlihatkan oleh sosok Khalifah kaum muslimin Umar bin Khaththab. Ketika Umar dikritik oleh seorang perempuan Anshar karena keputusannya menetapkan mahar pernikahan bagi seorang perempuan, Umar tidak marah, mencaci atau menyakiti perempuan tadi. Justru Umar terdiam, menelaah apa yang disampaikan, dan berakhir dengan mengakui kesalahan dan meralat keputusan yang sudah di buat. Betapa berjiwa besarnya Umar. Seandainya mau, Khalifah Umar bisa tetap memaksakan keputusannya, membungkam mulut perempuan tadi dengan mengancam atau menyakiti fisiknya. Tetapi itu tidak dilakukan karena Khalifah Umar sadar, posisi sebagai penguasa adalah untuk menerapkan syariah Islam, menjamin kesejahteraan dan keamanan warganya.

 

Dalam Islam pun terdapat mekanisme tertentu ketika melihat penguasa melakukan kesalahan terhadap keputusannya. Muhasabaah lil hukam adalah tindakan pertama yang harus dilakukan oleh setiap warga negara. Seperti apa yang dilakukan perempuan Anshar tadi, ketika melihat keputusan yang bertentangan dengan syariah, dia tidak segan mengoreksi langsung terhadap khalifah. Umat juga bisa menyampaikan keberatan atas sebuah keputusan melalui Majelis Umat. Majelis Umat akan meneruskan aspirasi mereka kepada Khalifah. Terakhir, sistem pemerintahan dalam Islam memiliki Mahkamah Mazhalim yang akan menyelesaikan persengketaan antara penguasa dengan warga. Mahkamah Mazhalim adalah lembaga independen yang tidak bisa disetir penguasa hatta seorang khalifah. Mereka dipilih dari orang-orang yang paling bertakwa dan memahami hukum -hukum Islam. Hingga tidak ada peluang membela salah satu yang bersengketa, tetapi memutuskan sesuai dengan syariah.

 

Dengan mekanisme ini tidak akan ada lagi korban represif penguasa, demonstrasi ricuh, atau terkekang hak suaranya seperti yang terjadi pada sistem demokrasi hari ini. Saatnya Islam menggantikan sistem demokrasi yang anti kritik dan represif. Saatnya demokrasi dimusnahkan dan diganti dengan syariah Islam. Wallau a’lam bishshawab.

Please follow and like us:

Tentang Penulis