Tabungan Pemaksaan Rakyat (TaPeRa)
Oleh: Rini Rahayu
(Aktivis Dakwah, Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi)
LenSaMediaNews.com__Pemerintah telah resmi menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat. Program ini mewajibkan pekerja, pekerja mandiri dan juga pemberi kerja untuk membayar iuran setiap bulannya. Tentu saja keputusan ini merupakan pemaksaan karena bersifat sepihak dan pemerintah tidak melibatkan rakyat atau pun buruh sebelumnya.
Hal ini sontak memicu berbagai aksi penolakan. Bahkan Federasi Serikat Pekerja (FSP) Logam Elektronik dan Mesin (LEM/SPSI) menyatakan akan menggelar unjuk rasa secara nasional untuk menuntut pemerintah agar mencabut atau membatalkan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Aksi itu direncanakan bakal diikuti oleh sejumlah serikat buruh yang tergabung dalam Aliansi Aksi Sejuta Buruh.
Tidak hanya itu, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) pun mengancam akan menggelar aksi yang sama yaitu demonstrasi besar-besaran jika pemerintah bersikeras memaksakan penerapan iuran Tapera. Opsi ini diambil apabila penolakan Tapera secara diplomatis tidak juga digubris oleh pemerintah (Tempo.co, 10-06-2024).
Aksi-aksi penolakan yang bermunculan atas keputusan pemerintah ini, rupanya tidak juga membuat pemerintah urung melaksanakan atau mencabut PP ini. Bak anjing menggonggong kafilah berlalu, tetap saja pemerintah bergeming dan tidak membatalkan atau menunda program tapera (Kompas.com, 04-06-2024).
Besarnya iuran yang telah ditetapkan yaitu sebesar 3%, dibebankan kepada pemberi kerja 0,5% dan yang 2,5% ditanggung pekerja. Tentu saja sangat memberatkan. Apalagi saat ini kondisi perekonomian carut marut, di mana harga-harga kebutuhan pokok melambung. Sudah pasti pemotongan sebesar 2,5% yang harus ditanggung pekerja akan sangat memberatkan mereka.
Ironisnya, iuran ini diwajibkan baik bagi yang sudah memiliki rumah atau pun yang belum memiliki rumah. Dengan dalih bahwa program ini adalah tabungan bukan pemotongan penghasilan, tetapi bersifat wajib. Maka dapat dikatakan penarikan iuran ini merupakan pengambilan uang rakyat secara paksa oleh negara. Tentu saja ini menunjukkan gagalnya atau ketidakmampuan negara dalam menjamin ketersediaan rumah bagi rakyat.
Bentuk pemaksaan dari program ini antara lain, karena sifatnya wajib maka tentu saja akan ada sangsi apabila tidak dibayarkan, bahkan bagi yang sudah punya rumah atau sedang menyicil pun tetap wajib setor tapera. Kemudian peserta akan sulit menarik tabungan yang telah disetorkan. Karena ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seperti peserta meninggal dunia, telah pensiun atau telah berusia 58 tahun atau tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama 5 (lima) tahun berturut-turut. Artinya peserta tidak bisa langsung menarik tabungannya kembali.
Program-program yang tidak pro rakyat dan hanya penguntungkan pemerintah, tentu saja sangat wajar terjadi dalam negara yang menganut sistem sekularisme. Karena agama dijauhkan dan tidak dijadikan acuan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi. Sehingga pemerintah tidak hadir sebagai pelayan rakyat, tapi justru malah memaksakan kehendaknya dengan topeng manis berdalih program kerakyatan. Padahal yang terjadi sesungguhnya rakyat semakin susah.
Sistem sekularisme ini telah menafikan halal haram, dan hanya mengagungkan nilai-nilai materil dan kemanfaatan. Jadi tidak memperdulikan sekalipun rakyat akan semakin susah, karena yang terpenting adalah keuntungan yang didapat. Pemerintah yang seharusnya me-riayah rakyatnya justru hadir sebagai pemaksa dan pemalak uang rakyat. Menyedihkan bukan?
Dalam daulah Islam, pemerintah akan menyediakan lahan dan hunian yang mapan bagi kaum miskin. Pemerintah dalam hal ini pemimpin, akan hadir dalam rangka untuk mengatur rakyatnya dan memenuhi semua kebutuhan rakyat termasuk perumahan. Untuk memenuhi kebutuhan ini, pemerintah akan mengambil dari kas negara atau baitul mall. Bukan dari pajak, riba atau iuran hasil pemaksaan pada rakyat.
Dalam Islam, negara dibolehkan memberikan tanah miliknya kepada rakyat miskin secara cuma-cuma untuk dibangun rumah. Atau negara langsung membangun rumah untuk rakyat yang kurang mampu di atas lahan milik negara. Negara akan melarang penguasaan tanah oleh korporasi atau pengusaha.
Jadi solusi untuk mengatasi backlog atau kesenjangan antara jumlah rumah yang dibangun dengan jumlah yang dibutuhkan rakyat ini hanyalah dengan Islam. Karena hanya dengan penerapan Islam secara kafah dalam naungan Daulah Khilafah Islamlah kesejahteraan rakyat secara adil dan merata akan terwujud secara nyata. Allahu Akbar. [LM/Ss]