Kala Perundungan Tak Lagi Terselubung

Oleh : Ummu Rifazi, M.Si

 

Lensa Media News–Aksi perundungan remaja di Mekarwangi, Kota Bandung viral di media sosial Instagram. Pelaku melakukan perundungan dan menyiarkannya secara langsung di akun Tiktok. Tak berhenti sampai disitu, pelaku lalu membuat siaran langsung yang baru di akun Tiktok-nya, sambil menyatakan dirinya memiliki paman seorang jenderal.

 

Pelaku juga mengaku tidak takut apabila harus masuk penjara. Bahkan dia pun dengan santainya menyatakan hal itu, sembari makan mie instan ditemani beberapa orang temannya (jabar.idntimes.com, 27/04/2024).

 

Perundungan yang dilakukan secara live (terbuka) ini, menggambarkan kejahatan tidak lagi dianggap sebagai hal yang buruk, bahkan menjadi sesuatu yang wajar dan keren. Perilaku ini menunjukkan adanya kesalahan dalam proses berpikir, yang memandang keburukan sebagai suatu hal yang lazim dan mengindikasikan adanya gangguan mental.

 

Perundungan Bak Wabah, Buah Buruk Sistem Sekuler

 

Berbagai upaya pencegahan maupun bentuk sanksi terhadap kasus perundungan telah dilakukan pemerintah. Mulai dari UUD 1945, KUHP, sampai upaya pembentukan satgas di sekolah, pembentukan sekolah ramah anak, dan penerbitan aturan Permendikbud Antikekerasan Nomor 46 Tahun 2023 (tirto.id/, 20/02/2024).

 

Nyatanya semua upaya tersebut tidak membuahkan hasil, bahkan perundungan makin merajalela, baik di sekolah umum maupun di pondok pesantren. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf menilai pemberian sanksi bagi pelaku perundungan tidak tegas dan tidak memberikan efek jera, karena banyak kasus perundungan justru berakhir secara damai (emedia.dpr.go.id, 26/03/2024).

 

Semua upaya tersebut tidak akan pernah bisa tegas dan efektif, karena sistem sekuler di negeri ini justru menyuburkan liberalisme, termasuk kebebasan berperilaku dan media massa. Konten berbau kekerasan bebas tayang dan dapat ditonton siapapun, termasuk remaja dan anak-anak yang akhirnya berpotensi memicu seseorang melakukan aksi kekerasan atau perundungan.

 

Sistem ini akhirnya melemahkan tiga pilar penegak aturan dalam sistem saat ini, yang menyebabkan kemaksiatan merajalela di negeri ini. Tiga pilar itu adalah ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan negara yang menerapkan aturan.

 

Lemahnya ketakwaan individu adalah hasil dari rusaknya sistem pendidikan. Peserta didik saat ini hanya diarahkan kepada kompetensi atas sesuatu yang bersifat materi, namun melupakan aspek pembinaan agama ataupun ruhiyah sehingga lahirlah generasi berkepribadian buruk yang tidak lagi ingat apalagi takut kepada Allah.

 

Tegaknya Tiga Pilar, Benteng Umat dari Perundungan 

 

Benteng dari segala kemaksiatan hanyalah ketakwaan, yang terbentuk dari proses penanaman akidah yang kuat. Hanya rasa takut kepada Allah lah yang mampu mencegah kaum muslimin melakukan berbagai kemaksiatan, termasuk perundungan.

 

Benteng ketakwaan ini hanya bisa diwujudkan dalam negara yang menerapkan Sistem Islam secara menyeluruh dan tegaknya tiga pilar penerapan hukum Islam di tengah kehidupan umat. Jika salah satu pilar ini runtuh, maka penerapan syariat Islam dan hukum-hukumnya ini akan mengalami penyimpangan.

 

Pilar pertama adalah ketakwaan individu dan keluarga. Keberadaan keluarga yang menerapkan aturan Islam di dalamnya akan memperkuat benteng ketakwaan individu dari melakukan kemaksiatan.

 

Pilar kedua adalah kontrol masyarakat. Keberadaan masyarakat yang memahami syariat Islam dan peduli lingkungan serta berbudaya amar makruf nahi mungkar sangatlah penting, karena manusia selalu memerlukan manusia lain untuk bisa saling mengingatkan.

 

Pilar ketiga adalah keberadaan negara yang berwenang mengatur serta memberi sanksi ketika ada pelanggaran dalam masyarakat. Maka ketika ada individu atau sekelompok individu yang melakukan kemaksiatan lalu masyarakat sudah menegur namun tidak dipedulikan, maka disinilah peran negara untuk menindaknya.

 

Sanksi dalam syariat Islam memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh aturan diluar Islam, yaitu jawabir (penebus siksa akhirat) dan jawazir (pencegah terjadinya tindak kejahatan yang baru terulang kembali). Jika pelaku kemaksiatan adalah anak di bawah umur, maka anak ini tidak dapat dijatuhi sanksi pidana Islam (uqubat syariyyah), baik hudud, jinayah, mukhalafat, maupun takzir.

 

Hal ini karena anak di bawah umur belum tergolong mukalaf. Syarat mukalaf adalah akil (berakal), baligh (dewasa), dan mukhtar (melakukan perbuatan atas dasar pilihan sadar, bukan karena dipaksa atau berbuat di luar kuasanya). Keistimewaan inilah yang menjadikan mekanisme hukum dalam Islam bersifat edukatif, adil dan menjerakan. Maasyaa Allah, allahummanshuril bil Islam, wallahu alam bisshowwab. [LM/ry].

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis