THR Kena Pajak, Sungguh Terlalu!
Oleh : Yani Ummu Qutuz
(Member AMK Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan bonus yang senantiasa dinanti pegawai setiap tahunnya. Pemberian THR oleh perusahaan kepada pekerja sudah lama menjadi tradisi budaya Indonesia yang diatur oleh pemerintah. Pemberian THR ini diharapkan bisa bermanfaat meringankan pengeluaran belanja lebaran yang biasanya serba naik.
Namun, saat ini para pekerja sedikit kecewa karena THR mereka dikenakan potongan pajak. THR bagi karyawan swasta akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 dengan cara dipotong oleh perusahaan untuk disetorkan ke negara. (CNN Indonesia, 27/03/2024)
Setelah THR, entah apalagi yang menjadi sasaran objek pajak bagi pemerintah. Pajak adalah setoran rakyat pada negara. Penerapan pajak atas THR merupakan praktik ekonomi kapitalisme. Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai pemasukan utama negara.
Dikutip dari katadata 3/01/2024, bahwa pada 2023 realisasi pendapatan negara mencapai Rp2.774,3 triliun. Penerimaan perpajakan mencapai Rp2.155,4 triliun, sementara nilai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada 2023 hanya Rp605,9 triliun.
Data tersebut menunjukkan pos PNBP yang di dalamnya ada pos sumber daya alam tampak sangat kecil. Padahal kekayaan alam Indonesia luar biasa besarnya, namun penerimaan dari SDA minim, sementara mayoritas penerimaan justru dari pajak. Seolah pemerintah sebagai “pemburu pajak”, karena hal apapun yang menguntungkan akan menjadi bidikan pajak. Sepertinya rakyat tidak boleh hidup senang dan tenang tanpa pajak.
Dan yang paling menyakitkan masyarakat tidak bisa leluasa menikmati hasil uang pajak berupa layanan publik dan pembangunan yang memadai. Buktinya layanan kesehatan mahal, biaya pendidikan tak terjangkau. Malah dikorupsi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, sungguh terlalu!
Pajak yang dipungut negara pasti akan mengurangi pendapatan seseorang, otomatis tingkat konsumsi seseorang akan menurun. Hal ini akan berpengaruh terhadap daya beli, sehingga produksi barang pun akan terganggu karena tingkat permintaan barang menurun. Secara global pungutan pajak ini akan berdampak pada menurunnya kualitas hidup secara keseluruhan.
Dalam pandangan Islam, pajak (dhoribah) adalah pungutan yang dikenakan pada orang-orang kaya saja, itu pun sifatnya insidental ketika kas negara kosong dan negara tidak bisa menutupi pembiayaan tertentu. Maka waktunya pun temporal atau situasional. Ketika pembiayaan itu sudah tertutupi maka pungutan pun dihentikan. Jadi tidak akan ada tuh pajak THR.
Pemberian THR ini terkesan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Sehingga mereka bisa merayakan lebaran dengan penuh kegembiraan, karena tercukupi semua kebutuhan hari raya. Lalu bagaimana dengan yang tidak bekerja dan tidak mendapatkan THR?
Saat ini sulit untuk bisa mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, karena kebutuhan hidup serba mahal, layanan publik seperti rumah sakit, sekolah juga mahal. Maka tak cukup dengan THR yang hanya setahun sekali bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Kesejahteraan hidup akan didapatkan sepanjang waktu jika Islam diterapkan. Para penguasa dalam Islam (Khalifah) akan bertanggung jawab mengurus rakyatnya. Menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi para laki-laki, karena di pundak merekalah kewajiban nafkah dibebankan. Sistem pengupahan diatur sedemikian rupa agar para pekerja mendapatkan upah yang makruf (layak) sesuai hasil kerjanya. Sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Penguasa akan menggratiskan layanan pendidikan dan kesehatan agar rakyat tak perlu menyiapkan anggaran untuk mendapatkannya. Berbagai fasilitas publik seperti transportasi dan sebagainya, BBM dan gas bisa diperoleh dengan harga murah. Ini adalah serangkaian kebijakan ekonomi Islam yang akan mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi seluruh warga negara sepanjang hidupnya.
Wallahu alam bissawab
[LM/nr]