Kecelakaan di Jalur Contraflow, Korban Kebijakan?
Oleh: Yulweri Vovi Safitria
(Freelance Writer)
LenSaMediaNews.com__“Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.” Soal ajal, memang rahasia Allah Swt. sebagai bagian dari takdir-Nya untuk seorang hamba.
Namun, lain cerita jika berakhirnya hidup seseorang karena kebijakan yang tidak memperhatikan keselamatan masyarakat, seperti kecelakaan yang baru-baru ini terjadi di jalur Tol Jakarta-Cikampek. Sistem contraflow yang dianggap sebagai solusi mengurai kemacetan jalur mudik Lebaran, nyatanya memakan korban. Tidak tanggung-tanggung, 12 penumpang dinyatakan meninggal dunia akibat kecelakaan maut tersebut (tempo.co, 15-4-2024).
Problem Kronis Moda Transportasi Publik
Berbagai problem terkait moda transportasi publik, seperti kecelakaan, harga tiket yang melangit, kemacetan panjang yang membuat kelelahan dan pingsan, merupakan problem kronis yang terus berulang setiap mudik Lebaran. Namun, hingga kini, pemerintah belum mampu memberikan solusi tuntas terhadap masalah tersebut.
Pemerintah memang sudah membuat berbagai kebijakan untuk menciptakan keamanan dan kenyamanan mudik Lebaran. Bahkan, untuk mengurai kemacetan saat mudik Lebaran, pemerintah melalui Korlantas Polri melakukan berbagai strategi, di antaranya rekayasa lalu lintas secara one way, contraflow, ganjil-genap, sampai dengan pembatasan operasional kendaraan angkutan barang sumbu III.
Namun, sayangnya, kebijakan pemerintah belum berjalan optimal. Bahkan, contraflow di jalur Tol Jakarta-Cikampek telah menyebabkan kecelakaan maut yang melibatkan tiga kendaraan sekaligus. Bukan hanya itu, kemacetan panjang di Pelabuhan Ciwandan, Cilegon, Banten, membuat sejumlah penumpang jatuh pingsan. Kondisi ini mengingatkan rakyat akan mudik horor pada 2022 lalu (Sinpo.id, 7-4-2024).
Berbagai persoalan tersebut tentu saja menyulitkan masyarakat. Perjalanan mudik Lebaran yang menyenangkan seolah hanya impian yang tidak mungkin terwujud. Harapan untuk berkumpul dan menjalin silaturrahmi dengan keluarga, kerabat, dan sahabat di kampung halaman selalu dibayangi oleh mudik horor yang bisa terjadi kapan saja. Ini karena persoalan sarana dan prasarana yang tidak mengutamakan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan masyarakat.
‘Operator’ Pemeran Utama
Sistem kehidupan yang memisahkan aturan agama dari kehidupan, yakni kapitalisme sekuler tidak akan pernah mampu mewujudkan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan bagi masyarakat. Sekularisme telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk membuat aturan sendiri sesuai dengan kepentingan masing-masing, sedangkan kapitalisme menjadikan materi sebagai tujuan yang harus dicapai.
Dalam sistem kapitalisme sekuler, penguasa tidak meriayah rakyat dengan optimal. Pemerintah hanya sebagai regulator, sedangkan swasta atau kaum kapital sebagai operator. Mirisnya lagi, melalui konsep good governance, penguasa menyerahkan pelayanan publik kepada operator. Alhasil, seluruh pengelolaan fasilitas publik dikendalikan oleh operator sebagai pemeran utama.
Sementara itu, rakyat seolah dipaksa mengikuti segala kebijakan yang telah ditetapkan, seperti kenaikan harga tiket. Masyarakat terpaksa membelinya meski dengan harga yang sangat fantastis. Ini karena operator berbisnis dengan rakyat, bukan untuk melayani rakyat.
Bukan hanya itu, dalam sistem kapitalisme sekuler, seluruh infrastuktur bisa pula dikomersialkan sehingga untuk menikmatinya, rakyat harus merogoh kocek lebih dalam. Namun, jika terjadi insiden kecelakaan, kemacetan, dan lain sebagainya bukan menjadi tanggung jawab operator.
Oleh karena itu, mengharapkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan pada transportasi publik dalam sistem kapitalisme adalah sebuah keniscayaan. Sebab, operator tidak memberikan jaminan terhadap hal itu, melainkan fokus pada cuan.
Solusi Islam terhadap Transportasi Publik
Islam memandang, transportasi publik adalah kebutuhan dasar dan urat nadi kehidupan yang pemenuhannya dilakukan oleh negara. Oleh karena itu, tata kelolanya haruslah berlandaskan akidah Islam dan negara bertanggung jawab penuh untuk mengurusinya.
“Imam (kepala negara) itu laksana penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya.” (HR Bukhari)
Negara memastikan transportasi publik bisa diakses oleh siapa saja dan kapan saja, baik secara rutin, pada saat insidental, ataupun mudik Lebaran. Oleh karenanya, tidak ada komersialisasi pada jasa transportasi, apalagi meraup keuntungan dari rakyat.
Islam juga melarang individu atau swasta untuk menguasai sarana dan prasarana transportasi publik, baik bandara, pelabuhan, jalan raya, maupun sumber daya manusianya. Negara tidak pula menjadikan jalan umum sebagai sumber pemasukan.
Terkait pembiayaan transportasi publik, negara memiliki sumber pemasukan tetap yang jumlahnya ibarat air mengalir, yakni dari sumber daya alam emas, batu bara, minyak bumi, nikel, timah, dan lain sebagainya. Alhasil, transportasi yang berkualitas, aman, nyaman, murah, bahkan gratis akan bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Wallahu a’lam. [LM/Ss]