Ibu Berdaya Negara Kuat?
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Lensa Media News–Hasil survei secara daring yang dilakukan oleh BKKBN pada 2020 menunjukkan hasil peran istri lebih dominan dalam memberikan pengaruh kepada anggota keluarga. Survei dilakukan kepada keluarga pada masa Pandemi Covid-19 dan melibatkan 20.680 responden.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo. Hasto juga menyimpulkan banyak keluarga di negara ini yang sangat dipengaruhi oleh peran istri. Meski juga ada yang dipengaruhi nilai-nilai budaya tinggi dan dasar-dasar Pancasila.
Ketua Ikatan Sosiolog Indonesia (ISI) Arie Sujito mengatakan, akan berkomitmen mendukung BKKBN dalam program-program ketahanan keluarga. Ia melihat bukti, jika selama ini semakin banyak mahasiswa yang mengalami pikiran suicidal thoughts (bunuh diri) ternyata bukan faktor permasalahan kuliah saja melainkan keluarga. Negara butuh reformasi begitu juga kampus butuh adaptasi terkait kualitas SDM dan bukan bicara infrastrukturnya saja (republika.co.id, 14/4/2024).
Negara Maju Butuh Ibu Berdaya?
Tahun lalu, dalam seminar parenting tumbuh kembang anak di ruang Tridharma Kemnaker, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan bahwa negara maju tidak lepas dari peran para ibu dalam mengasuh dan merawat buah hati mereka (republika.co.id, 3/8/2023).
Namun kemajuan teknologi ternyata telah mereduksi peran ibu sedemikian rupa hingga lalai mengasuh dan merawat buah hatinya. Waktu para ibu banya tersita karena susah melepas gadget, berakibat aktifitas harian ibu tersita, pengawasan tumbuh kembang anak tak optimal.
Lantas apa solusi negara? Bukankah negara maju juga butuh teknologi canggih, selain itu kemajuan teknologi adalah keniscayaan karena ia bagian dari perkembangan sains dan teknologi.
Jelas ini berkaitan dengan mindset negara itu sendiri. Harus ada persamaan persepsi negara maju butuh ibu yang berdaya itu seperti apa. Tak bisa dipungkiri, dalam sistem kapitalisme yang diterapkan negara hari ini, sangatlah sulit mendapatkan gambaran yang jelas tentang kesejahteraan, pemberdayaan perempuan dan negara maju itu sendiri.
Semua jika boleh disimpulkan selalu dikaitkan dengan keuntungan material semata, sementara ada hal yang tidak bisa dinilai dengan materi, pencapaiannya tidak bisa diwakilkan dalam bentuk numerasi seperti misalnya hak dan kewajiban ibu sebagai umm wa rabbatul bait ( ibu dan pengatur rumah tangga).
Perempuan Berdaya Jika Bekerja?
Merujuk pada maksud perempuan berdaya negara kuat, masih muncul mindset sesat bahwa berdaya itu diartikan menghasilkan keuntungan materi semata. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil peluang pentingnya memperkuat literasi keuangan syariah bagi perempuan.
Maka, tahun 2023 OJK menggagas acara ibu sebagai duta literasi keuangan syariah melalui penyelenggaraan program Sahabat Ibu Cakap Literasi Keuangan Syariah (Sicantiks) di Jakarta, Selasa, 10 Oktober 2023 (Republika.co.id, 11/ 10/2023).
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari mengatakan program Sicantiks ini selain meningkatkan literasi ( manajemen dan perencanaan keuangan, pengetahuan produk) juga memberikan pelatihan literasi keuangan secara berkelanjutan kepada Key Opinion Leader (KOL) atau berbasis komunitas.
Harapannya, program ini menjadi gerbang awal bagi para ibu-ibu Majelis Taklim mencapai puncak tertinggi piramida literasi. Pada tingkat yang lebih matang, perempuan akan berdaya secara finansial yang bisa memanfaatkan produk atau layanan keuangan yang berujung pada kesejahteraan finansial yang berkesinambungan.
Presidium Badan Musyawarah Islam Wanita Indonesia (BMIWI) Nurul Hidayati pun menyambut baik. Namun sayang, bukankah sejatinya menjadi ibu yang kuat tak hanya cukup pandai literasi keuangan syariah, namun harus memahami Islam secara Kaffah. Dan hal ini mustahil bakal terwujud dalam sistem sekuler, kapitalisme.
Kaum perempuan terutama muslimah harus senantiasa waspada, jangan sampai terjebak bujuk rayun setan, berupa penghargaan, uang yang banyak, “ berkuasa” atas yang lainnya dan melupakan fitrahnya sebagai ibu.
Inilah bukti abainya negara dalam menjamin ibu benar-benar bisa mencetak generasi cemerlang dan berkontribusi pada negara kuat. Programnya saja ambigu, memang perempuan harus bisa mengatur keuangan rumah tangga, sebab ia juga manager keuangan dalam rumah suaminya, namun bukan berarti ia juga harus menghasilkan uang baru bisa disebut berdaya.
Apalagi menjadi duta literasi keuangan, meski berembel-embel syariat, sebab dalam syariat yang sesungguhnya sangatlah berbeda makna menyejahterakan ibu dan memberinya peran penting agar negara pun menjadi kuat. Ini semua hanya skenario kapitalisme yang hendak menjauhkan ibu dari peran hakikinya.
Ibu Berdaya Butuh Ayah Siaga dan Negara yang Berpihak Penuh
Memang ibu memiliki peran sentral adalah fitrah, namun, peran ini tidak bisa berjalan baik jika sistem yang lain tidak mendukung. Seperti ayah yang mudah mencari nafkah, harga sandang, papan, pangan yang murah dan terjangkau, pendidikan yang berkualitas serta gratis , kesehatan yang tidak dikapitalisasi dan adanya kewajiban bayar BPJS, terakhir keamanan yang benar-benar melindungi perempuan tanpa pandang bulu.
Semua itu ada pada negara, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Sangatlah jelas, jika ingin negara maju karena peran perempuan sangat berpengaruh, maka harus ada negara yang mampu mewujudkan itu tanpa tendensi apapun. Wallahualam bissawab. [LM/ry].