Fenomena “Nelpon Allah”, Kebebasan Berpendapat atau Penyimpangan?

Oleh: Agu Dian Sofiyani

LenSa Media News _ Video Mbah Benu menetapkan Lebaran Jum’at, 5 April 2024, berselang lebih awal 5 hari dari lebaran umumnya umat Islam secara keseluruhan, setelah nelpon Allah SWT, sontak viral dan menghebohkan netizen Indonesia.

Jamaah Masjid Aolia menyampaikan bahwa dasar penetapan 1 Syawal 1445 hijriah jatuh pada Jum’at, 5 April 2024, merupakan pendapat Mbah Benu pimpinan masjid Aolia yang tidak didasarkan perhitungan melainkan hasil telpon langsung kepada Allah SWT.

Tentu saja pendapat Mbah Benu ini membuat banyak netizen bertanya tanya dan berkomentar bagaimana caranya Mbah Benu nelpon Allah SWT.

Hal tersebut akhirnya di klarifikasi Mbah Benu bahwa soal menelpon Allah SWT. hanyalah istilah dan ia memohon maaf. Ia sampaikan pula bahwa penetapan 1 Syawal tersebut adalah hasil perjalanan spritual yang dia lakukan (Sumut Insider.com, 7 April 2024).

Meskipun penyimpangan terhadap syariat ini bukan yang pertama terjadi, tapi tetap saja membuat miris dan menjadi indikasi bahwa saat ini umat Islam sudah jauh dari pemahaman Islam yang benar. Karena kalau bersandarkan kepada pemahaman para ulama ahli fiqh, kita akan mendapatkan pemahaman bahwa penetapan hari pertama Ramadhan dan hari Idul Fitri harus bersandarkan kepada hadist Rasulullah Saw, yakni dengan melihat hilal, dimana Rasulullah Saw. bersabda,

“Dari Abdullah bin Umar ra. Bahwa sesungguhnya Rasulullah bersabda; satu bulan itu 29 malam maka jangan kamu berpuasa sehingga melihat hilal, maka jika awan menghalangi penglihatanmu, maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya’ban) 30 hari. H.R. Imam al- Bukhari” (Al-Bukhari, t.th: 28).

Maka apa yang disampaikan oleh Mbah Benu bahwa penetapan satu Syawal didasarkan karena hasil perjalanan spiritualnya adalah pemahaman yang tidak tepat bahkan menyimpang dari syariat. Pasalnya Mbah Benu menetapkan idul Fitri pada tanggal 26 Ramadan, yang seharusnya tidak boleh dibiarkan atas nama menghormati kebebasan berpendapat.

Seharusnya persoalan ini segera diselesaikan oleh negara karena berkaitan dengan masalah pahala dan dosa masyarakat. Jangan sampai masyarakat tergelincir ke dalam dosa secara berjamaah. Bagaimanapun di dalam Islam, negara adalah perisai bagi umat Islam. Negara memiliki kewajiban untuk memberikan nasehat kepada rakyat dan mencintai rakyatnya sehingga akan memastikan bahwa rakyat itu bukan hanya selamat di dunia tapi juga di akhirat.

Sayangnya saat ini, pondasi negara kita tidak bersandarkan kepada Syariat Islam. Sehingga negara tidak berperan sebagai perisai bagi umat. Penyimpangan terhadap syariat akhirnya tidak ditindak bahkan dibiarkan atas nama menghormati kebebasan berpendapat.

Padahal di dalam Islam jika pendapat seseorang itu bertentangan dengan syariat maka tidak boleh dibiarkan begitu saja, harus dicek apakah pemahaman tersebut karena kebodohan atau karena penyimpangan yang disengaja. Jika karena kebodohan maka harus diedukasi dan jika penyimpangan yang disengaja berarti harus diberikan sanksi.

Namun tentu saja kebodohan umat terhadap Islam terlebih dahulu akan dicegah negara dengan memberikan kurikulum Islam sedari awal. Pemahaman terhadap aqidah, Al Quran dan as Sunnah termasuk Bahasa Arab menjadi hal pertama dan pokok yang akan diberikan dalam sistem pendidikannya. Sehingga akan meminimalisir penyimpangan pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam.

Fenomena penyimpangan terhadap syariat di era sekular saat ini memang sangat subur bak jamur di musim hujan. Maka untuk mengakhirinya secara tuntas, haruslah mengubah pondasi pokok negara yang tadinya tidak berasas kepada Islam menjadi Islam. Maka sudah saatnya umat Islam kembali kepada syariat Islam secara kaffah.

(LM/SN)

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis