Menggenjot Vokasi Demi Sejahtera, Akankah Jadi Nyata?


Oleh: Ummu Zhafran
(Pegiat Literasi)

 

LenSa MediaNews__Kementerian Ketenagakerjaan menghadirkan pelatihan vokasi yang berkualitas di Semarang beberapa waktu yang lalu. Kontennya tentu disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja yang mengutamakan link and match ketenagakerjaan dengan harapan terbentuk tenaga kerja yang siap pakai juga memiliki kualitas tinggi. (antaranews, 23-3-2024)

 

Memang sejak Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022, tentang Vokasi diluncurkan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan Kemendikbud Ristek ditunjuk sebagai leading sector yang bertugas mengarahkan dan memfasilitasi agenda vokasi untuk anak negeri.

 

Jadilah vokasi semakin menjamur. Program pendidikan yang dicanangkan demi menjawab kebutuhan dunia industri jadi semakin dibutuhkan. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pernah menengarai dengan vokasi, 70 persen atau sekitar 144 juta orang pekerja usia produktif bakal sejahtera sebelum memasuki usia tua. (ekon.go.id, 30-10-2022)

 

Persoalannya, benarkah demikian? Sebab menarik untuk dicermati bahwa output dari pendidikan vokasi di sekolah-sekolah kejuruan maupun lembaga- pelatihan faktanya menempati posisi di bawah dalam hierarki dunia industri. Wajarlah karena sejatinya vokasi hanya mencetak tenaga kerja teknis bukannya para ahli. Pastinya standar upah pun mengikuti standar pekerja di level rendah.

 

Hal itu mau tak mau harus dimaklumi sebab tentu tak asing lagi bahwa tabiat asli sistem ekonomi kapitalis meniscayakan segala sesuatu diukur berdasarkan manfaat, atau yang membawa keuntungan materi. Semakin besar manfaat yang bisa dipetik, semakin tinggi penghargaan (baca:upah) yang diberikan. Sebaliknya makin rendah manfaat yang diperoleh perusahaan, makin kecil pula upah yang diberikan. Di poin ini, harusnya tergambar sejauh mana produk pendidikan vokasi di mata industri, yaitu mendesain tenaga kerja yang bisa dibayar dengan upah minimum. Padahal di sisi lain, para pekerja yang dihasilkan dari vokasi ini masih harus bersaing dengan jutaan pekerja atau calon pekerja lainnya yang memiliki bekal pendidikan yang sama atau bahkan lebih tinggi.

 

Sehingga bila publik kemudian menyangsikan kesejahteraan bakal terwujud, tak perlu heran. Alih-alih sejahtera di usia tua, faktanya justru, tingginya tingkat pengangguran disumbang oleh lulusan SMK yang bahkan menempati peringkat utama. (cnnindonesia, 5-5-2023)

 

Ruwet. Idealnya jika serius menginginkan terwujudnya kesejahteraan dan kemajuan bangsa, maka potensi generasi yang harus maksimal digenjot.

 

 

Selanjutnya bicara generasi berarti bicara soal pendidikan, sehingga kurikulum seharusnya disusun dengan matang hingga dapat membentuk generasi yang berakhlak mulia dan menguasai sebagai ahli di bidangnya masing-masing. Keahlian yang dimiliki inilah yang nantinya diharapkan menarik gerbong bangsa menjadi yang terdepan di dunia. Bukannya sekadar generasi yang siap bekerja by designed alias sesuai pesanan dunia usaha dan korporasi, kemudian pasrah dibayar dengan minimum upah.

 

Amboi, andai Islam yang dijadikan rujukan, bukannya kapitalisme seperti saat ini, tentu bakal lain cerita. Dalam pandangan Islam, program pendidikan ditujukan bagi kemaslahatan umat manusia bukan hanya bagi segelintir orang dengan modal besarnya (korporat).

 

Selain ditanamkan akidah yang menjadi fondasi dalam berpikir dan bertingkah laku, peserta didik juga dibekali berbagai ketrampilan yang bisa berguna dalam hidup termasuk keterampilan jadi figur pemimpin yang amanah dan bertanggungjawab.

 

Selain itu, kurikulum pendidikan dalam Islam tentu tidak luput dari pengembangan dan pemanfaatan teknologi. Namun hal tersebut dilakukan sebagai sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, bukan semata untuk mengejar prestise di dunia. Oleh karena itu, kurikulum akan menyesuaikan terhadap kebutuhan manusia dengan tetap tidak melanggar syariat. Mengapa harus syariat indikatornya? Ya, karena ketaatan pada syariat merupakan konsekuensi dari keimanan.

 

Syariat Islam mewajibkan negara menjamin seluruh hal di atas bisa terwujud maksimal. Mulai dari penyediaan sarana prasarana, gaji guru yang tinggi, dukungan terhadap riset, biaya pendidikan cuma-cuma, dan lain-lain.

 

Pada akhirnya, profil peradaban Islam menghasilkan generasi cemerlang niscaya terbentuk. Hal tersebut bisa dibaca dalam catatan sejarah peradaban dunia tertulis dengan tinta emas. Di masa itu, bahkan Barat pun terpesona hingga berbondong-bondong mengirimkan para pemuda dan pemudinya guna mereguk kehebatan ilmu dalam naungan peradaban Islam.

 

History repeats itself.” Tak mustahil sejarah emas itu terulang kembali. Hanya saja ada syaratnya, terapkan kembali syariah Islam dengan kafah sebagaimana keadaan saat jejak kecemerlangan tersebut ditulis. Dengan penerapan syariat yang mengikuti teladan Baginda Rasulullah saw., maka kesejahteraan bukan sekadar harapan namun kenyataan yang diiringi keberkahan yang berlimpah dari langit juga bumi. Wallahu a’lam.

Please follow and like us:

Tentang Penulis