Waspadalah di Balik Kesenangan PayLater!

Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd

 

Lensa Media News—Buy now, paylater. Slogan ini sudah terdengar di mana-mana. Slogan yang dipakai untuk model pembayaran inovasi financial technology atau fintech. Dengan ini paylater membius para konsumen untuk bisa membeli barang secara kredit tanpa kartu kredit.

 

Dengan skema ini, mereka bisa membayar di kemudian hari, entah nanti sekali bayar atau pakai metode cicilan. Ternyata pilihan cicilan dan paylater lebih menarik bagi masyarakat yang memiliki anggaran terbatas. Mereka merasa dimudahkan dengan sistem ini.

 

Maka tak heran jika beragam fitur paylater telah disediakan oleh banyak platform belanja online. Kalau dari sisi kemudahan, pay later kelihatan mudah banget. Jelas hal ini dikatakan mudah karena kalau butuh barang tinggal ajukan saja pay later.

 

Prita Hapsari Ghozie, SE, GCertFP, M.Com, perencana keuangan yang telah memiliki gelar certified financial planning UI mengingatkan anak muda agar tidak kecanduan paylater dan budaya konsumtif. Menurut Prita, generasi muda kelahiran tahun 1981 sampai 1994 terancam tidak bisa membeli rumah karena kenaikan gaji mereka tidak berimbang dengan harga rumah di pasaran (ui.ac.id, 9/2/2023).

 

Sudahlah gaji yang diterapkan dalam sistem ekonomi saat ini benar-benar rendah ditambah lagi banyak pemuda juga terjerat budaya konsumtif gara-gara paylater itu. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena paylater di kalangan pemuda makin marak.

 

Menurut survei Katadata Insight Center dan Kredivo, dari 6.403 orang pengguna PayLater yang disurvei, 39,9% diantaranya menggunakan lebih dari 1 kali sebulan. Sementara yang menggunakan paylater 1 kali setahun hanya 6,2% saja (data boks.katadata.co.id, 23/6/2023).

 

Fenomena jebakan paylater di generasi muda sebenarnya cerminan kalau mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol diri dan tidak memiliki kemampuan mengatur prioritas kebutuhan mereka sendiri. Sistem kehidupan sekulerisme-kapitalisme adalah pangkal masalah ini.

 

Sebab sekulerisme itu paham yang memisahkan agama dari kehidupan, maka aturan agama tidak dikenal dalam ruang publik. Aturan yang dikenal justru bagaimana mereka memuaskan keinginan mereka tanpa halangan. Belum lagi penerapan sistem kapitalisme yang membuat pemuda mengejar kenikmatan jasadiah alias materi.

 

Sistem kapitalisme ini telah dijadikan sebagai jalan hidup. Penerapan sistem sekulerisme kapitalisme memberikan efek pada individu berupa perasaan puas dan bahagia ketika mereka bisa membeli apapun yang mereka suka.

 

Kemudian, budaya flexing di masyarakat juga masih menjamur dan dijadikan sebagai standar kesuksesan. Jika lingkungan sudah toxic seperti ini, maka generasi muda pasti terjerat perilaku konsumtif. Belum lagi para kapital memang membiarkan hawa-hawa konsumtif semakin membesar bagi siapapun yang ingin membeli barang-barang.

 

Lihat saja promosi industri kecantikan, fashion, gadget, vacation, dan sejenisnya. Iklan yang semakin menggoda jiwa-jiwa ngeksis para generasi muda. Sehingga akar masalahnya itu bukan di model pembayaran paylater, tetapi sistem kehidupan sekulerisme kapitalisme yang memang memelihara budaya konsumtif.

 

Fenomena ini akan berbeda kalau generasi muda hidup dalam sistem Islam yang disebut Khilafah. Khilafah ini bukan ajaran sesat. Sistem ini adalah pemerintahan dicontohkan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam.

 

Dalam Khilafah, budaya konsumtif akan diminimalisir bahkan kalau ada indikasi pola konsumtif saja, Khalifah atau penguasa akan tegas menindaklanjuti. Karena Khilafah adalah institusi yang menerapkan hukum syariah secara praktis dan syariah mengatakan manusia itu tidak boleh berperilaku konsumtif. Oleh karena itu, Khilafah akan campur tangan agar warga negaranya tidak berperilaku konsumtif.

 

Inilah cara Khilafah mencegah warga negaranya agar tidak jatuh dalam kemaksiatan. Salah satu contohnya bisa dilihat dari sikap Khalifah Umar Bin Khattab ra. Dalam kitab fikih ekonomi Islam digambarkan ketika itu Khalifah Umar hanya mengenakan pakaian biasa ketika berkunjung ke wilayah Syam tetapi penduduk di sana protes, mengapa sosok khalifah memakai pakaian biasa padahal pengawalnya menggunakan pakaian terbaik dan kendaraan terbaik.

 

Khalifah Umar mengetahui kalau permintaan ini terlihat mengikuti pola konsumtif akhirnya Khalifah memberi nasihat kepada mereka semua. Selain penjagaan dari negara, Khilafah juga akan menerapkan sistem pendidikan Islam.

 

Kurikulum Pendidikan Islam membuat anak-anak memiliki syakhsiyah Islam yaitu pola pikir dan pola sikap sesuai dengan Islam. Sehingga generasi muda mempunyai self control based on syariah ketika hendak memutuskan sesuatu. Media dalam Khilafah juga akan disuasanakan sebagai alat edukatif bukan sebagai pemicu kehidupan hedonisme. Wallahualam bissawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis