Karena Kapitalisme, Energi Listrik Menjadi Sumber Polusi

Oleh: Ranita

 

Lensa Media News – Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104). Ayat ini membuat kita teringat dengan tingkah penguasa dalam sistem demokrasi. Mereka menyangka bahwa kebijakan mereka akan membawa kebaikan bagi manusia dan lingkungan, padahal sebenarnya belum tentu demikian.

Seperti apa yang baru-baru ini terjadi. Pemerintah mengeluarkan wacana akan menaikkan pajak motor bensin untuk memberi efek jera tambahan bagi para pengguna kendaraan non listrik dan menaikkan minat masyarakat untuk beralih ke kendaraan umum. Ini dilakukan agar tingkat polusi udara di Jabodetabek bisa menurun (cnnindonesia.com, 23/1/2024).

Sekilas hal ini terkesan solutif, namun solusi ini jelas tak menyentuh akar masalah. Pemerintah menganggap kendaraan bermotor berenergi listrik tidak menyumbang polutan. Padahal mayoritas energi listrik di Indonesia masih berasal dari batubara. Lebih dari 10 PLTU di sekitar Jabodetabek, jelas memberikan dampak bagi kualitas udara di kawasan tersebut.

Di sisi lain, rendahnya minat masyarakat terhadap kendaraan umum dibanding kendaraan pribadi terjadi karena proses kepemilikan kendaraan pribadi yang relatif mudah. Tawaran leasing kendaraan bermotor dengan cicilan rendah jangka panjang lebih diminati masyarakat dibanding bersusah payah mengantre di halte atau stasiun. Riba dan leasing yang keduanya bertentangan dengan syariat, dianggap remeh karena masyarakat dibiasakan menjadi sekuler. Terlebih tidak ada undang-undang yang menganggap riba dan leasing sebagai dosa.

 

Konversi Energi Mengandung Investasi

Tidak sinkronnya masalah dan solusi pada wacana kenaikan pajak kendaraan motor bensin ini, mengundang kecurigaan masyarakat terkait konversi energi menuju penggunaan listrik. Apalagi dengan adanya industri kendaraan listrik yang mulai resmi beroperasi di Indonesia. Salah satu merek mobil listrik China, BYD, diketahui telah menanamkan investasi triliunan rupiah di Indonesia untuk membangun pabrik (detikoto.com, 18/1/2024).

Jika demikian, benarkah wacana kebijakan ini benar-benar untuk kebaikan rakyat dan lingkungan? Bukankah keberadaan PLTU batubara dengan sistem penyaringan cerobong asap yang tidak memadai justru menyumbang polutan dalam jumlah besar dan berbahaya? Benarkah kebijakan ini bukan untuk kepentingan kapitalis produsen kendaraan listrik?

 

Kebijakan Islam Terkait Polusi

Sejak awal diturunkan, Islam adalah sistem hidup yang menyeluruh dan sempurna. Selain akidah dan ibadah, Islam juga mengatur persoalan yang berkaitan dengan masalah kehidupan termasuk kelestarian alam.

Dalam masalah penanganan polusi, Rasulullah telah menyampaikan konsep umum: “Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain” (HR. Ibnu Majah). Selain itu Rasulullah juga berpesan bahwa, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari). Dengan dua hadits ini Islam menganggap polusi udara sebagai masalah serius yang harus diperhatikan oleh khalifah. Terlebih dari limbah batubara, kebersihan udara, air dan tanah menjadi taruhannya.

Sebagai langkah awal, sumber energi bersih dari nuklir, solar panel, angin, dan air akan dijadikan sumber primer kebutuhan energi masyarakat. Jika pada akhirnya batubara masih harus digunakan, maka proses penambangan dan penggunaannya harus diawasi secara ketat oleh negara, bukan swasta.

Langkah berikutnya, negara akan menutup segala jenis transaksi jual beli yang mengandung riba dan leasing. Dengannya, jumlah kendaraan bermotor akan terkendali. Dan yang tak kalah penting, negara berkewajiban menyediakan sarana transportasi umum yang bisa menjangkau pelosok negeri. Pembiayaan transportasi umum ini diambil dari pos pemasukan Baitul Maal yang berasal dari pengelolaan tambang dan harta selain zakat.

Langkah-langkah ini hanya bisa dilakukan jika negara menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dengannya campur tangan kapitalis tambang dan industri akan tereliminasi, dan rakyat tidak lagi terbebani pajak yang mencekik.

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis