IPG Naik: Perempuan Berdaya atau Teperdaya?
Oleh: Neneng Sri Wahyuningsih
Lensa Media News–Narasi kesetaraan gender terus digalakkan agar perempuan terjun ke area publik sebagaimana laki-laki. Dengan begitu mereka akan dikatakan sebagai perempuan berdaya, berhasil, dan sukses.
Sebagaimana yang terjadi saat ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengatakan selama tahun 2023 perempuan semakin berdaya karena meningkatnya indeks pembangunan gender (IPG).
Mereka berkiprah di ranah publik baik untuk bekerja, memiliki jabatan yang strategis di tempat kerja, maupun terlibat dalam politik pembangunan yakni menjadi bagian dari lembaga legislatif, yudikatif, bahkan eksekutif. Di tahun 2024, pemerintah pun akan fokus untuk meningkatkan lagi pemberdayaan perempuan (Antaranews.com, 6/1/2024).
Jika kondisinya demikian, benarkah perempuan ini berdaya atau justru teperdaya?
Dalam kacamata kapitalisme, perempuan dikatakan berdaya ketika mampu sejajar dengan laki-laki, mandiri, dan mampu menghasilkan materi sehingga tidak mudah direndahkan harga dirinya.
Padahal ketika perempuan mengikuti standar yang telah ditetapkan kapitalisme ini maka sejatinya bukanlah perempuan berdaya melainkan teperdaya, yakni tertipu dengan pemikiran feminisme yang senantiasa mendorong perempuan agar setara dengan laki-laki dalam segala bidang.
Mereka pun seolah bahagia padahal menderita. Betapa tidak, akibat perempuan ingin disamakan dengan laki-laki, kemudian di dorong untuk aktif dalam area publik, akhirnya tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan pelecehan seksual di tempat kerja.
Banyak juga yang akhirnya meminta berpisah dengan pasangannya. Berdasarkan BPS, selama tahun 2022 telah terjadi sebanyak 516 ribu pasangan yang bercerai. Dari 93% perempuan yang mengajukan gugat cerai, 73% adalah perempuan yang mapan secara ekonomi (databoks.katadata.co.id, 2/11/2023).
Jika sudah berpisah, maka perempuan (ibu) menjadi single parent dalam mengasuh anak. Tak jarang karena ibu tersibukkan menjadi tulang punggung keluarga, mencari biaya untuk pendidikan maka akhirnya anak ditelantarkan, dibiarkan diasuh oleh tontonan yang minim edukasi atau justru dititipkan kepada pihak yang tidak memiliki ilmu dalam pengasuh. Alhasil anak terjerat kenakalan remaja, pergaulan bebas, dan lainnya.
Bahkan memungkinkan sang ibu pun stres karena melakukan berbagai peran tersebut. Tidak sedikit dijumpai di lapangan, ibu yang depresi hingga bunuh diri. Jika demikian, maka kesejahteraan dan kesuksesan perempuan yang menjadi goals dari program perempuan berdaya hanyalah semu. Lantas seperti apa perempuan berdaya yang sesungguhnya?
Hakikat pemberdayaan perempuan yang mampu memberikan keberkahan dan kebaikan bagi perempuan, keluarga, masyarakat, bahkan negara harus mengikuti konsep dari Sang Pencipta. Allah Swt. telah menciptakan perempuan dan laki-laki dengan memiliki kelebihan dan peran masing-masing yang tidak bisa disamakan dan bukan juga untuk dibanding-bandingkan.
Ketika laki-laki lebih banyak beraktivitas di luar untuk bekerja bukan berarti lebih hebat dari perempuan melainkan peran tersebut merupakan kewajiban laki-laki sebagai kepala keluarga yang harus menafkahi keluarganya.
Pun ketika perempuan ini berfokus untuk menjadi ummu warobatul bait dan madrasatul ula bagi anak-anaknya, bukan berarti tidak memiliki bargaining position dan tidak berguna melainkan ini merupakan tugas mulia yang Allah berikan kepada kaum perempuan.
Ada sebuah kisah tentang Asma’ binti Yazid yang protes kepada Rasulullah saw terkait ruang gerak perempuan yang lebih terbatas dibandingkan laki-laki. Rasulullah pun bersabda, “Kembalilah, wahai Asma’, dan sampaikan pada para perempuan yang ada di belakangmu, bahwasanya perilaku baik salah seorang di antara mereka terhadap suami mereka, usahanya untuk mendapatkan rida suaminya, dan ketundukan mereka untuk selalu taat pada suami mereka, maka itu semua akan mengimbangi pahala dari amalan yang telah kamu sebutkan.”
Hadis di atas menjelaskan bahwa peran utama perempuan sebagai manajer rumah tangga dan pendidik anak-anaknya. Selain itu juga menuntut ilmu, khususnya ilmu agama dan melakukan amar makruf nahi mungkar.
Islam membolehkan perempuan terlibat di area publik untuk kemajuan bangsa seperti menjadi pengajar, peneliti, entrepreneur, lembaga pemerintahan, dan lainnya. Akan tetapi harus mengikuti rambu-rambu aturan Islam, yakni tidak mengabaikan tugas utamanya sebagai pendidik generasi, memilih pekerjaan yang tidak mengeksploitasi kecantikan, terjaga interaksinya selama bekerja, dan terkhusus untuk bekerja di pemerintahan bukan sebagai pemimpin yang memutuskan kebijakan.
Dari penjelasan ini terbukti bahwa Islam tidak membatasi gerak perempuan. Begitupun tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki. Semuanya memiliki porsi tugas sesuai dengan fitrahnya masing-masing. Tentu semua ini akan mampu dijalankan ketika Islam diterapkan dalam kehidupan secara sempurna oleh sebuah negara.Wallahualam bissawab. [LM/ry]