Mimpi Perubahan? Nyata dengan Islam Kaffah!

Oleh: Ummu Zhafran

pegiat literasi

 

Lensa Media News–Perubahan itu suatu keniscayaan. Layaknya siang berganti malam, kemarau jadi hujan, dan kecil lambat laun tumbuh membesar. Tak ada yang luar biasa dengan peristiwa perubahan.

Tapi itu dulu, sebelum salah satu kandidat capres dan cawapres mengusungnya sebagai fokus utama visi dan misinya. Jadilah kini kata perubahan bak primadona. Disuarakan di mana-mana layaknya mantra sakti mandraguna guna menarik atensi dan mendulang suara.

 

Salah? Tentu tidak. Menilik kondisi sepuluh tahun terakhir, nyatanya perubahan tak lagi sebatas keniscayaan, melainkan juga kebutuhan. Dengan harga kebutuhan pokok yang terus melambung, BBM yang naik turun bak roller coaster, pajak yang mencekik, dan banyak lagi lainnya membuat banyak orang berharap perubahan jadi nyata.

 

Busuknya ikan dimulai dari kepalanya. Rusaknya kondisi saat ini juga berpangkal dari pemimpinnya. Maka untuk mengubahnya harus dengan mengganti figur yang memimpin. Inilah opini umum yang berkembang luas di tengah masyarakat. Akhirnya bak ritual tradisi, isu pergantian pemimpin kemudian menggejala setiap musim lima tahunan tiba.

 

Padahal jika lebih jernih mencermati, dalam masyarakat tak hanya terdiri dari sosok individu tetapi juga aturan atau sistem yang menaungi. Orang-orang yang baik saja belum tentu bisa menelurkan aturan yang baik. Buktinya cukup dengan menelaah situasi saat ini. Sementara aturan yang baik berikut dengan sanksi yang mengikat bisa memaksa setiap individu rakyat menjadi baik. Logikanya begitu.

 

Terlebih bila dikaitkan dengan konsep perubahan dalam Islam. Benar bahwa perubahan harus diperjuangkan lewat tangan sendiri sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya, “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…” (TQS Ar Ra’d: 11).

 

Hanya saja perubahan keadaan suatu kaum ternyata tak cukup didasarkan pada perubahan (pergantian) pemimpin. Dapat dilihat jika keadaan negeri ini bahkan makin memburuk walaupun telah banyak kali bergonta-ganti pemimpin. Bukankah ini bukti bahwa pergantian kepemimpinan tidak memberikan perubahan yang berarti, kecuali sedikit saja?

 

Jika kondisi yang buruk dan rusak yang jadi fokus perubahan, mengapa tak menyimak kalam Sang Pencipta terkait akar penyebabnya? firman Allah Swt. yang artinya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS Ar-Rum: 41).

 

Maknanya, kata Syaikh Ali Ash-Shabuni dalam tafsirnya, bahwa telah tampak beragam kerusakan dan malapetaka di daratan dan lautan disebabkan oleh kemaksiatan dan dosa manusia.

 

Dari sini jelas, kerusakan dan kesempitan hidup yang tak kunjung henti dialami umat akibat meninggalkan ketaatan kepada Allah Swt., melalaikan perintah dan larangan-Nya.

 

Di sisi lain Allah Swt. juga menegaskan bahwa penyebab derita umat manusia adalah karena berpaling dari Al-Qur’an.“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia penghidupan yang sempit.” (TQS Thaha: 124).

 

Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna dari frasa ‘berpaling dari peringatan-Ku’ adalah menyelisihi perintah Allah dan apa saja yang telah diturunkan kepada Rasulullah saw. (yakni Al-Qur’an). Pun berpaling dari Al-Qur’an lalu melupakannya dan (malah) mengambil selainnya sebagai petunjuk.

 

Mencermati ayat-ayat di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa AlQur’an merupakan satu-satunya petunjuk dalam kehidupan seorang muslim. Sehingga penyebab mendasar dari seluruh permasalahan umat saat ini ketika risalah yang dibawa Rasulullah saw. diabaikan. Lalu kehidupan dibiarkan berjalan dalam naungan selain petunjuk Allah Swt. seperti kapitalisme-demokrasi, tanpa memandang siapa pun pemimpinnya.

 

Dengan berpegang pada petunjuk AlQur’an bisa dipastikan bahwa siapa pun yang berkuasa, jika tetap mengabaikan aturan-aturan Allah, tidak akan pernah bisa menghilangkan berbagai kerusakan (fasad) di segenap penjuru negeri. Berbagai kerusakan hanya mungkin diperbaiki saat syariat Allah Swt. diterapkan secara kafah. Inilah perubahan yang hakiki itu.

 

Satu hal, mari sejenak merenung. Betapa dengan syariat ini Allah Swt. menunjukkan rasa belas kasihan sekaligus sayang yang amat besar kepada umat manusia seluruhnya. Politik, ekonomi, pergaulan, pendidikan, dan segenap aspek terkait kehidupan manusia diatur dengan aturan yang bila diterapkan tentu akan mendatangkan rahmat dan keberkahan. Rahmat yang menaungi tidak hanya umat muslim, namun juga seluruhnya tanpa kecuali. Begitu janji Allah Swt. dan itu pasti! Wallahua’lam. [LM/ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis