Kasus Gagal Ginjal Akut Bukti Gagalnya Jaminan Kesehatan Negara

Oleh: Fenti

LenSa Media News _ Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (tertanggal 26-09-2023) korban GGAPA (Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal) korban mencapai 326 anak, dimana 204 anak meninggal dunia dan sisanya telah sembuh.

 

Robert Na Endi Jaweng selaku anggota Ombudsman RI mendesak pemerintah untuk segera menetapkan kasus GGAPA ini sebagai kasus luar biasa (KLB) serta meminta pemerintah tidak lari dari tanggung jawab dalam kasus ini, yang telah lalai dalam mengawasi produksi dan distribusi obat (KBR, 5-11-2023).

 

Sejumlah keluarga korban pun mendesak Bareskrim Polri untuk segera menyeret pihak-pihak yang harus bertanggung jawab atas peredaran obat batuk sirup beracun ke pengadilan.

 

Menurut Indra Lutrianto Amstono, Kasubdit I Dittipidter Bareskrim Polri, pihak kepolisian telah menerbitkan Sprindik (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) dimana akan ada tersangka baru yang ada kaitannya dengan prosedur penerbitan izin edar dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) yang tidak sesuai standar.

 

Safitri, ibu dari Panghegar, dimana anaknya adalah salah satu korban dari kasus GGAPA. Panghegar adalah korban yang meninggal. Safitri ingin semua yang tersangkut dalam peredaran obat di BPOM diseret ke pengadilan.

Menurutnya BPOM telah lalai dalam mengawasi, sehingga kalau dibiarkan kasus yang sama akan terjadi kembali, kalau tidak ada perbaikan sistem pengawasan.

Safitri menyebutkan peristiwa yang terjadi pada anaknya itu, anaknya telah dibunuh oleh sistem.

 

Kasus GGAPA yang melonjak di bulan Agustus sampai Oktober 2022. Sampai di penghujung tahun 2023 kasus ini masih belum selesai dituntaskan.

 

Walaupun empat petinggi perusahaan produsen obat batuk sirup beracun telah divonis hukuman penjara, namun vonis yang dijatuhkan pengadilan sangat ringan, vonis dua tahun penjara yang belum dipotong masa tahanan dan yang lainnya. Hal itu tidak sepadan dengan meninggalnya ratusan anak yang menjadi korban produksi obatnya. Padahal jaksa menuntut hukuman penjara tujuh sampai sembilan tahun.

 

Lambatnya penanganan kasus GGAPA dimana kesehatan dikelola dengan sistem kapitalis, sehingga kebijakan yang diambil hanya berputar pada masalah uang bisnis dan keuntungan.

Negara yang semestinya sebagai pengurus rakyatnya, malah berperan menjadi pengatur yang memuluskan bisnis para pengusaha, termasuk pengusaha yang bergerak di bidang kesehatan.

Sungguh kasus GGAPA ini membuktikan gagalnya negara dalam mewujudkan perlindungan di bidang kesehatan. Sistem kapitalis telah menghilangkan rasa kemanusiaan sehingga ratusan nyawa anak terenggut. Dimana semestinya kasus GGAPA ini bisa diupayakan penanganannya hingga tuntas.

 

 

Dalam Islam, anak bukan hanya aset masa depan, tapi mereka juga sebagai bagian dari masyarakat yang wajib dipenuhi kebutuhannya, termasuk kesehatan. Fasilitas kesehatan akan disediakan dengan pelayanan yang memadai bahkan gratis. Pelayanan yang diberikan negara bukan untuk mencari keuntungan tapi untuk mengurusi kepentingan dan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat.

Negara mengurus kepentingan dan kebutuhan rakyatnya seperti yang terdapat dalam hadits:

“Imam/ Khalifah adalah pengurus dan dia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya” (HR Muslim dan Ahmad)

Penetapan standarisasi produk yang aman untuk kesehatan dan halal, menjadi tanggung jawab negara. Keselamatan nyawa harus diperhatikan lebih utama, bukan lebih mempertimbangkan keuntungan ekonomi.

Dalam Islam juga bagi para pengusaha maupun instansi yang terkait, yang telah melakukan kelalaian akan diberikan sanksi yang tegas sehingga menjadi jera.

Wallahu alam.

(LM/SN)

Please follow and like us:

Tentang Penulis