Politik Pura-pura Bahagia

Oleh: Nunik Umma Fayha

 

LenSa Media News _ Gelaran pemilu 2024 semakin dekat. Masa Kampanye sudah dimulai. Deretan wajah penuh senyum, penuh janji mulai memenuhi ruang publik. Baliho besar kecil seperti tak hendak memberi ruang kosong.

Belum lagi di televisi. Setiap ada tayangan berita, talkshow, pembahasannya tidak lain tidak bukan selalu berkaitan dengan bagaimana menarik suara sebanyak-banyaknya.

 

Segala cara digunakan dari yang halus sampai kasarnya kasat mata. Dari masalah merubah aturan sampai pencabutan alat kampanye.

 

 

Pemimpin Negeri

 

Syair lagu rilisan KPU dalam rangka kampanye pelaksanaan Pemilu ada kalimat: “Saatnya memilih pemimpin negeri.”

 

Seperti apa sih pemimpin Negeri yang diharapkan? Kualitas dan kemampuan yang diharapkan tentunya sesuai dengan kelompok yang ditanya.

Kalangan anak muda tentu mengharapkan pemimpin dengan standar berbeda dengan kalangan mapan. Kalangan pengusaha punya harapan berbeda dengan kalangan pendidikan.

Sebab yang namanya harapan tentu disesuaikan dengan kepentingan.

 

Anak muda ingin punya pemimpin yang mengakomodasi kebutuhan mereka terkait pendidikan, lapangan pekerjaan juga kesenangan/hobby.

 

Pengusaha tentu saja berharap pemimpin yang bisa menyediakan semua kebutuhan usaha mereka. Kemudahan pinjaman usaha, iklim usaha yang kondusif, menjadi kebutuhan mereka

 

Pemilu sejatinya diadakan untuk memilih pemimpin yang menjadi harapan rakyat. Akan tetapi rasanya di sistem ini, harapan seperti jauh panggang dari api.

 

Sebagaimana disampaikan oleh Wahyudi Al Maroki, Direktur Pamong Institute (Media Umat, 14/12/2023), bahwa Capres dan Cawapres sejatinya sudah dipilih atau ditentukan lebih dulu oleh Oligarki. Rakyat hanya menjadi pemberi legitimasi melalui Pemilu yang katanya luber dan jurdil.

 

Prof. Hanif Nurcholis, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Terbuka, menyatakan seperti disitir Media Umat, 14/12/2023, bahwa para Calon pemimpin yang diserahkan untuk dipilih rakyat dalam Pemilu, adalah hasil arahan elit Parpol.

Sayangnya Parpol di sini tidaklah seperti idealnya Parpol yang terdiri dari kumpulan orang yang memiliki kesamaan ideologi, cita-cita dan kepentingan. Parpol di sini lebih tepat disebut orang-orang yang dikumpulkan oleh orang/tokoh yang memiliki uang, memiliki pengaruh. Sebab Parpol ini tidak didasari kesamaan ide, aspirasi, tapi hanya karena pengaruh orang/tokoh, maka arah partai pun sesuai dengan elite yang jadi pemimpinnya.

Bisa dibayangkan, ketika Parpol memilih calon pemimpin apakah akan sesuai dengan aspirasi rakyat?

Sesuai dengan harapan rakyat?

Wallahualam

 

Pura-pura Bahagia

 

Ketidakpastian aturan nampak mencuat menjelang gelar akbar Pemilu. Diawali keputusan MK yang meski ditentang publik bahkan demo mahasiswa, tetap diputuskan dan langsung dijalankan KPU.

Selanjutnya masih ada jilid lain ketidakberaturan peraturan. Pejabat diijinkan tetap duduk nyaman di kursi meski sambil ngasong untuk mendapat segepok suara bagi keberlanjutan singgasana. Aturan yang selama ini sudah berjalan tetiba dirombak dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 2018 . Aturan ini memberikan kesempatan para pejabat publik untuk bisa berkampanye dengan leluasa.

 

Tetap duduknya pejabat di kursinya tentu saja membuat rawan terjadi kecurangan.

Belum lagi politik transaksional yang semakin tampak nyata. Saat partai-partai besar dengan senioritas pemimpinnya, bersedia menundukkan diri di bawah pendatang baru nir pengalaman.

 

 

Pemimpin dalam Islam 

 

UIY dalam wawancara yang dimuat di Media Umat, 14/12/2023, menyebutkan bahwan Pemimpin yang baik adalah Pemimpin yang melaksanakan Syariah. Tentu saja untuk mendapatkannya butuh sistem yang mendukung.

 

Saat ini rakyat hanya disuguhi sosok pemimpin dan calon pemimpin yang tidak berawal dari aspirasinya. Mereka muncul atau lebih tepatnya dimunculkan oleh elit Parpol atau gabungan elit Parpol dengan berbagai pertimbangan obyektif maupun subyektif.

 

Dibutuhkan sistem yang mampu mendukung munculnya para pemimpin dan calon pemimpin yang baik. Di antara syaratnya adalah adanya calon pemimpin yang benar-benar pilihan rakyat.

 

Para pemimpin dipilih untuk melaksanakan syariat yaitu suatu sistem yang berdiri di atas kepentingan manusia dan bebas dari konflik kepentingan.

Dalam sistem ini rakyat tidak hanya memilih pemimpin tapi juga wajib mengawasi

 

Pelaksanaan sistem seperti ini tidak memberi peluang bagi mereka yang hanya mencari kuasa, sebab dalam Islam kepemimpinan adalah amanah bukan kemegahan. Sebab itu para Sahabat justru mengucap innalillahi waina ilaihi raajiun ketika menerima amanah kepemimpinan. Mereka paham beratnya hisab yang akan mereka hadapi

 

Berbeda saat ini ketika jabatan dikejar dengan segala cara sehingga ketika mendapatkannya menjadi suatu kemegahan.

Entah mereka paham atau pura-pura lupa bahwa semua itu akan diminta pertanggungjawaban kelak.

 

Bisakah terwujud? 

Banyak orang apatis dan menganggap sebagai utopia semata. Padahal memang pemikiran seperti itulah yang telah dan terus dikuatkan oleh para pembenci Islam pada Umat Muslim khususnya.

 

Butuh usaha besar untuk mewujudkan sistem sahih. Poin yang paling penting adalah memahamkan umat atas kehebatan sistem Islam serta kewajiban untuk terikat padanya.

 

Selain itu tentu juga butuh dukungan dari orang-orang yang berpotensi menjadi ahlu nusrah atau penolong gerakan ini yaitu mereka yang memiliki kekuatan dan kekuasaan.

 

Semua ini hanya bisa terjadi ketika dakwah untuk mendapatkan dukungan dan penerimaan umat terus dilakukan dengan Istiqomah. Agar tidak ada lagi pemimpin yang mendapat kekuasaan bukan dari aspirasi umat. Agar tidak ada lagi politik saling sandra yang melahirkan para pemimpin dan rakyat yang harus pura-pura bahagia

Sebab bahagia yang hakiki hanya bisa dinikmati dalam sistem Islam yang menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek.

 

Wallahu alam bishawwab

(LM/SN)

Please follow and like us:

Tentang Penulis