Ilusi Memberantas Korupsi dalam Sistem Demokrasi

Oleh: Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H.
Lensamedianews.com, Opini – Proses hukum ketua KPK nonaktif, Firli Bahuri, yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan pemerasan menambah daftar panjang kasus korupsi sejumlah petinggi lembaga penegak hukum dan kementerian di penghujung pemerintahan Presiden Joko Widodo (BBCNewsIndonesia, 2/12/2023).
Ketua KPK Firli Bahuri jadi tersangka kasus dugaan korupsi termasuk pemerasan terhadap Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo oleh Polda Metro. Ini bukan kali pertama pimpinan lembaga antirasuah itu ditetapkan jadi tersangka dalam suatu kasus hukum. Firli dikenakan Pasal 12 huruf e, Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Pasal 65 ayat 1 KUHP. Dalam pasal tersebut diatur ancaman hukuman maksimal berupa pidana penjara seumur hidup. (CNNIndonesia, 25/11/2023).
Salah satu persoalan utama yang dihadapi negeri ini memang korupsi, yang kelihatannya terjadi secara terstruktur dan sistematis. Bagaimana tidak, mulai dari pemerintahan pusat hingga daerah, korupsi terjadi secara merata, ada yang personal bahkan ada yang berjamaah. Bahkan tak sedikit yang melibatkan oknum KPK sebagai institusi terpercaya negeri ini dalam hal pemberantasan korupsi. Pimpinan KPK yang terlibat kasus korupsi ini pun bukan sekali ini terjadi.
Mengapa hal ini bisa berulang terjadi? Mengapa korupsi seakan-akan menjadi budaya di negeri ini?
Akar Permasalahan
Dalam konteks saat ini, korupsi tidak terbatas pada tindakan “mencuri dan memanipulasi” anggaran, sehingga sering dikategorikan dengan mencuri. Faktanya pada hari ini korupsi meliputi praktik suap, gratifikasi, bahkan layanan plus-plus dan sebagainya. Dimana pemberi dan penerima suka sama suka.
Ada tiga aspek yang harus ada agar sistem tegak dengan baik. Pertama, ketakwaan individu baik pada rakyat jelata dan pejabat negara. Kedua, kontrol masyarakat, kelompok, partai politik, organisasi massa terhadap siapa pun yang melakukan penyimpangan. Ketiga, penegakan hukum oleh negara.
Jika ketiga aspek ini ada dan benar-benar berjalan dengan baik, maka sistem akan tegak. Praktik penyimpangan sekecil apa pun bisa dicegah sejak dini dengan sebaik-baiknya.
Tiga aspek ini hanya tinggal angan jika negeri ini tetap menjadikan demokrasi-kapitalis sebagai sistem politik dan pemerintahannya. Sistem yang berdiri atas asas pemisahan agama dengan kehidupan (sekularisme) ini menjadikan manusia sebagai penentu/ pembuat hukum sehingga hukum dapat berubah-ubah sesuai kepentingan individu ataupun kelompok. Sistem ini tidak berstandarkan halal-haram sehingga apa yang dilakukan hanya memikirkan keuntungan materi. Oligarki kekuasaan dan akumulasi harta di orang-orang ataupun pihak-pihak tertentu semakin memuluskan tindakan korupsi.
Sistem demokrasi kapitalisme secara nyata telah terbukti gagal untuk mewujudkan pemberantasan korupsi dengan segala bentuk kecurangannya. Kasus Ketua KPK yang harusnya menegakkan “hukum” justru ikut bermain dalam pusaran korupsi menjadi bukti bahwa sistem demokrasi-kapitalis tidak mampu memberantas korupsi malah menyuburkan korupsi.
Islam Solusi Tuntas Korupsi
 
Hanya dengan menjadikan Islam yang merupakan ideologi yang akan memancarkan aturan-aturan yang berasal dari Sang Khaliq yakni hukum syarak yang sempurna dan paripurna, yang diterapkan dalam suatu institusi yakni Khilafah sebagai sistem politik dan pemerintahan yang akan membebaskan negeri ini bahkan seluruh negeri dari korupsi. Hanya sistem Islam yang mampu memberantas bahkan mencegah terjadinya kecurangan dan korupsi, dan itu semua sudah terbukti selama tegaknya khilafah sekitar 1300 tahun.
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan solusi dalam mengatasi korupsi. Hanya Islam yang mampu memberantas bahkan mencegah kasus korupsi melalui 3 pilar penegakkan hukum, yaitu: (1) Ketakwaan individu yang mendorongnya untuk terikat pada hukum syara’. Sehingga andaikan ada peluang untuk korupsi ia akan ingat hal tersebut dapat mengundang murka Allah SWT.
(2) Kontrol masyarakat, dimana kontrol individu maupun masyarakat terhadap individu lain sangat diperlukan karena sebagai manusia bukan malaikat. Terkadang ia khilaf dan melakukan dosa. Karena itu, manusia yang satu memerlukan manusia lainnya untuk mengontrol dirinya, sehingga masing-masing orang membutuhkan orang lain sehingga bisa saling mengontrol atau muhasabah.
Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat hedonis yang bermental instant akan cendrung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparatnya. Sebaliknya, masyarakat yang mulia dan kritis akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajak menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar bin Al-Khaththab di awal pemerintahannya pernah menyatakan, “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.
(3) Negara yang menerapkan syariat Islam secara utuh. Syariat Islam memberikan petunjuk tentang bagaimana meminimalkan tindakan korupsi, seperti sistem penggajian yang layak, larangan menerima suap dan hadiah, perhitungan kekayaan, penyederhanaan birokrasi, serta sanksi yang setimpal.
Hanya dengan Islam, korupsi dapat diberantas sampai ke akar-akarnya sehingga negeri ini mendapat berkah dari langit dan bumi. Hal ini dapat terlaksana dengan mengganti sistem demokrasi-kapitalis, dengan sistem Islam yang menerapkan syariat secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bishshawab. [LM/Ah]
Please follow and like us:

Tentang Penulis