Penyalahgunaan Kekuasaan, Satu Keniscayaan Dalam Demokrasi

Oleh : Ummu Sovuhy

 

Lensa Media News—Pemilu 2024 semakin dekat, capres dan cawapres pun sudah komplit. Adapun nama-nama dari ketiga bakal pasangan capres dan cawapres di Pemilu 2024 mendatang adalah Anies Baswedan-Cak Imin, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

 

Sejalan dengan itu, berbagai kalangan pun mulai mewaspadai penyalahgunaan kekuasaan oleh para capres dan cawapres bersangkutan. Sebab, diantara mereka memang ada yang masih aktif menjabat. Sebut saja Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan ; Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan; dan Gibran wali kota Solo.

 

Menyoal hal tersebut, Pakar Komunikasi Politik Ari Junaedi berharap para menteri yang bersinggungan dengan pusaran koalisi Pilpres 2024, termasuk mereka yang menjadi bacapres dan bacawapres, untuk segera mundur dari jabatannya. Selain untuk hindari konflik kepentingan. Tujuan lainnya adalah mencegah berdirinya posko pemenangan di kantor-kantor kementerian tempat mereka menjabat (Tribunnews,25/10/2023).

 

Demokrasi memang berbiaya mahal. Jangankan untuk jadi capres dan cawapres, sekadar calon kepala desa dan bupati saja biayanya luar biasa. Sehingga wajar jika sebagian orang pesimis dengan lahirnya pejabat yang berintegritas dan amanah dalam demokrasi. Sebab untung rugi memang menjadi standarnya.

 

Berdasarkan riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2018 lalu, biaya yang mereka keluarkan dalam sekali Pilkada bisa mencapai Rp60 miliar. Biaya tersebut baru hanya untuk menjadi Bupati. Jika politikus ingin menjajaki jabatan Gubernur, maka mereka diperkirakan harus merogoh kocek sebesar Rp100 miliar (Okezone,7/01/2022).

 

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 2014-2019 Fahri Hamzah membocorkan perihal modal minimal yang diperlukan seseorang untuk menjadi calon presiden peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.”Tapi kalau pilpres lebih gila menurut saya. Di Indonesia ini kalau orang tidak punya uang Rp 5 triliun, nggak bisa nyapres dia. Sadar atau tidak,” kata Fahri dalam program “Your Money Your Vote” (CNBC Indonesia, 24/5/2023).

 

Pemilu yang berbiaya mahal menjadikan para pejabat menghalalkan segala macam cara baik sebelum menjabat apalagi setelah menjabat. Penyalahgunaan wewenang dalam sistem demokrasi sudah menjadi hal yang lumrah. Kongkalikong antara penguasa dan korporasi sudah hal biasa, sebab untuk maju dalam pencalonan memang butuh modal yang besar. Apalagi calon harus diusung oleh partai, ini turut menambah besarnya biaya.

 

Hal ini berbeda dengan sistem Islam, seseorang ketika ingin mencalonkan diri sebagai khalifah tidak terikat dengan dukungan partai politik. Mahkamah mazalim akan menyeleksi kelayakan calon khalifah dari sisi syarat in’iqod yaitu : muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Setelah syarat ini terpenuhi maka masyarakat dipersilahkan memilih sesuai kehendaknya.

 

Masa kekosongan jabatan khalifah maksimal tiga hari baik saat khalifah meninggal maupun mengundurkan diri. Waktu tiga hari ini digunakan sebagai masa pendaftaran, seleksi, dan pemilihan hingga terwujudnya baiat pada khalifah yang baru. Tenggang waktu yang singkat ini menjadikan pemilihan berjalan efektif, efisien, dan minim konflik. Lahirnya pejabat yang amanah dalam sistem Islam adalah sebuah keniscayaan. Ini tidak lain karena Islam Allah turunkan sebagai rahmat lil’alamin, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam“. (TQS al-Anbiya 21:107). Wallahu’alam. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis