Melejitkan Potensi Gen-Z Muslim, Jangan Biarkan Dibajak
Oleh: Ummu Zhafran, pegiat literasi
Lensa Media News–Di penghujung Oktober, publik negeri ini selalu diingatkan akan momen bangkitnya para pemuda. Meski kebangkitan idealnya tak dibatasi momen tertentu, namun tak ada ruginya kembali menjejak momentum ini untuk melompat lebih jauh.
Maklum kita, dalam diri pemuda memendam banyak potensi dan kelebihan, baik dari sisi usia, daya pikir, maupun kekuatan fisik. Betapa perubahan kerap diinisiasi kalangan muda, dari yang sebelumnya sengkarut menjelma jadi hebat.
Hanya saja seiring zaman, energi dan potensi mereka seakan terus melemah. Masih lebih banyak di antara generasi muda kita yang sadar maupun tidak, membiarkan potensinya yang dahsyat dibajak oleh berbagai platform media sosial, games, materi dan popularitas semata. Tak cukup itu, kondisi tersebut semakin diperparah dengan maraknya kasus penyalahgunaan narkoba, juga pergaulan bebas.
Ironis, sebab bukan rahasia lagi bahwa para pemuda adalah aset bangsa. Di pundak mereka nasib dan masa depan umat di negeri ini bakal dipertaruhkan. Sayang tak banyak yang sungguh-sungguh menaruh perhatian untuk mengentaskan persoalan pemuda. Kalau pun ada, fokusnya utama pada pemberdayaan pemuda dari sisi ekonomi dan teknologi demi mengejar materi. Ada pun berlomba meraih ilmu pengetahuan, pembentukan kepribadian agar tangguh menyongsong masa depan, seolah jadi nomor ke sekian.
Situasi ini semakin parah mengingat patron atau figur yang jadi role model di depan mata tak sedikit justru yang bermasalah. Kasus demi kasus tiada henti membanjiri ruang audio visual anak dan remaja. Mulai dari tindak korupsi, zina, perselingkuhan, perceraian, obat terlarang, bullying, tawuran dan masih banyak lagi lainnya. Akibatnya, generasi muda kehilangan contoh yang patut diteladani. Mereka pun hidup bagaikan layangan putus, terbang ke arah mana saja angin meniup.
Kembali, bila dicermati dengan pikiran jernih maka karut-marut persoalan pemuda mengerucut pada satu hal. Saat kehidupan dijalani bagaikan bebas nilai. Bukan berarti tak ada lagi yang menganut agama. Namun agama tidak lagi dijadikan tuntunan dalam segala aspek kehidupan melainkan hanya sebagian saja yang terkait ibadah spiritual. Khususnya Islam, dipandang cukup pada salat, puasa di bulan Ramadan, zakat dan haji bagi yang mampu. Ada pun yang terkait ekonomi, sosial kemasyarakatan, politik dan militer hanya dibaca saat tilawah Alqur’an lalu diabaikan dengan dalih sudah ketinggalan zaman. Benar-benar telah berlaku apa yang dinamakan sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan.
Padahal bagaimana mungkin yang datang dari Sang Maha Pencipta dianggap demikian? Bukankah kitab suci memuat semua yang dijamin Allah berlaku sampai hari kemudian? Allah Swt. berfirman,”Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al Maidah:19). Imam Ibn Katsir menerangkan maksud ayat ini bahwa Allah akan menjaganya dari pengubahan dan penggantian (Tafsir Ibn Katsir).
Mari sejenak tengok pula bagaimana sejarah mencatat peran pemuda sepanjang peradaban Islam dengan tinta emas. Di antaranya terdapat Usamah bin Zaid, yang menjadi panglima perang di usia 18 tahun. Zaid bin Tsabit, yang memeluk Islam ketika usia 13 tahun kemudian ditetapkan jadi penulis wahyu dari Allah Swt. Hanya dalam 17 malam mampu menguasai bahasa Suryani, sehingga menjadi penerjemah Rasulullah saw.
Tak kalah pula pemuda yang hidup jauh setelah Rasulullah saw. wafat. Salah satunya, Muhammad al-Fatih yang berhasil memimpin pasukan menaklukkan Konstantinopel pada usia 23 tahun. Sementara pemimpin pasukan dan pasukannya jauh hari telah dikabarkan oleh Baginda Nabi dalam salah satu hadisnya sebagai sebaik-baik pemimpin dengan sebaik-baik pasukan.
Seluruhnya bisa terwujud saat kehidupan disandarkan pada syariah Islam yang diterapkan secara kafah. Semata-mata karena meneladani Nabi Muhammad saw., dan para sahabat yang mulia. Itulah yang berlaku sepanjang kejayaan peradaban Islam. Syariah yang diterapkan secara totalitas oleh negara tegak melindungi dan menjamin semua yang hidup di bawah naungannya jauh dari maksiat. Tak terkecuali para pemuda, dihindarkan dari perbuatan yang sia-sia macam tontonan yang tidak bermanfaat, juga permainan yang melalaikan.
Pada akhirnya wajar bila terbentuk generasi emas yang sanggup mengantarkan pada perubahan yang ujungnya kebangkitan yang sahih. Ditandai dengan orientasi hidup untuk meraih keridhaan Allah yang berbuah jannah kelak di kehidupan akhirat. Bisa dibayangkan jika gen-Z muslim dan muslimah saat ini kembali pada jalan yang ditempuh pendahulunya. Niscaya merekalah generasi yang dinanti-nantikan umat. Jangan biarkan potensi mereka dibajak oleh sekularisme yang tabiatnya rusak dan hanya merusak. Wallahu a’lam. [LM/ry].