Sekularisasi Politik kian Menguat, Apa Bahayanya bagi Umat?

Oleh: Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)

Lensamedianews.com, Opini- Kontestasi politik sebentar lagi digelar. Beragam imbauan agar tak membawa-bawa agama dalam politik pun kian santer dibuat. Lantas, politik seperti apa yang akan membawa maslahat bagi umat?

Sekularisasi Politik Melahirkan Makna yang Terdestruksi

Kontestasi 2024 segera dimulai. Panggung politik pun mulai memanas. Sepak terjang calon pemimpin beradu visi dan misi sudah mulai tampak. Terkait dengan pemilihan pemimpin, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas mengimbau kepada masyarakat agar tidak memilih pemimpin yang memecah belah umat. Pesan ini disampaikannya dalam acara Tabligh Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniyah ke-231 di Pondok Pesantren Az Zawiyah, Tanjung Anom, Garut, Jawa Barat. (republika.co.id, 04/09/2023). Pemimpin yang terpilih, haruslah pemimpin yang ideal bagi seluruh golongan. Kurang lebih demikianlah makna yang tersirat.

Menag juga mengimbau pada masyarakat agar tak memilih pemimpin yang membawa agama sebagai alat politik untuk meraup kekuasaan. (republika.co.id, 4/9/2023). Yaqut pun melanjutkan bahwa agama seharusnya mampu melindungi kepentingan seluruh umat. Rahmat untuk semesta alam, bukan rahmatan lil Islam saja. Demikian tegasnya.

Pernyataan Menag Yaqut, ditanggapi oleh pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin. Ujang mengungkapkan ujaran Menag yang demikian justru malah memicu perpecahan dalam tubuh masyarakat (republika.co.id, 05/09/2023).

Menag Yaqut semestinya tak membuat pernyataan yang menciptakan anomali yang bisa memicu pertentangan di masyarakat. Demikian tegas Ujang. Tidak juga mengeluarkan pernyataan yang justru akan mendapatkan respon negatif di mata publik, lanjutnya. Tak hanya itu, pernyataan Menag Yaqut pun berpotensi memicu munculnya politik identitas yang saat ini sudah menurun dibandingkan Pilpres 2019 lalu, ungkapnya.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyyah, Haedar Nashir pun mewanti-wanti agar para tokoh politik tidak menciptakan konfrontasi antara nilai keagamaan dan nasionalisme pada kontestasi politik 2024 mendatang. (republika.co.id, 08/09/2023).

Politik dan agama dianggap sebagai jalan yang berbeda. Inilah hasil pemikiran sekularisme yang hingga kini diemban. Agama dianggap sebagai hambatan yang akan menjegal kekuasaan politik. Parahnya lagi, Islam dijadikan sebagai agama yang tertuduh, baik dalam isu politik identitas ataupun isu politik lainnya. Seolah Islam adalah agama yang hanya mampu menimbulkan disintegrasi dan kerusakan di tengah umat. Makna ini tentu melahirkan destruksi makna tentang konsep Islam yang benar.

Pernyataan Menag yang mengungkapkan agar Islam mampu menjadi rahmatan lil ‘alamiin, bukan rahmatan lil Islam saja, tentu menimbulkan persepsi negatif tentang ajaran dan syariat Islam. Seakan-akan jika Islam ditegakkan akan mengancam entitas umat beragama yang lain. Tentu saja, pernyataan ini keliru dan tak memiliki dasar yang benar. Ucapan ini pun berbahaya jika dicerap mentah-mentah oleh rakyat. Karena bisa bermakna menyudutkan Islam dan fungsi kepemimpinannya di tengah kehidupan.

Fakta ini sebagai bukti betapa kentalnya sistem sekulerisme demokrasi. Jabatan dan kekuasaan dijadikan jalan untuk memperoleh keuntungan duniawi semata. Demokrasi yang asas dasarnya adalah sekularisme, benar-benar meniadakan aturan agama dalam mengurus kepentingan rakyat. Alhasil, kepemimpinan pun melupakan tujuannya. Padahal sejatinya, tujuan kepemimpinan adalah pengurusan kebutuhan umat dengan amanah.

Buruknya lagi, sistem demokrasi yang sekuleristik ini menjadikan politik uang sebagai jalan pintas menuju kekuasaan. Tingginya angka politik uang di negeri ini mencerminkan koyaknya esensi kepemimpinan. Dari sistem kehidupan seperti ini, tak mungkin dilahirkan sosok pemimpin amanah yang mampu adil mengurusi umat. Praktisnya, sekularisasi politik yang kini terus diaruskan adalah pemahaman yang rusak dan melahirkan kezaliman di tengah kehidupan.

Politik ala Islam, Niscaya Menjaga Umat

Dalam konsep Islam, politik adalah pengurusan seluruh kepentingan umat, mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan beragam sektor lainnya yang menunjang kehidupan. Islam, politik, dan kekuasaan adalah bagian yang terintegrasi dan tak bisa dipisahkan sama sekali.

Dalam kitab Majmu Al Fatawa (28/394), Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, maka perkataan manusia akan rusak”. Artinya hanya ada kezaliman jika aturan agama tak dijadikan pondasi kekuasaan. Rakyatlah yang dirugikan. Padahal sesungguhnya kepemimpinan semestinya mampu memprioritaskan seluruh kepentingan rakyat.

Islam adalah satu-satunya konsep kehidupan yang mampu melahirkan rahmatan lil ‘alamiin. Tak ada diskriminasi dalam institusi khilafah. Semua warga negara memiliki hak yang sama dalam pelayanan negara, baik muslim maupun nonmuslim. Semua urusan kepemimpinan umat membutuhkan konsep yang amanah. Dan kriteria pemimpin yang adil dan amanah adalah impian setiap rakyat. Dan hanya sistem Islam-lah yang mampu menjamin terwujudnya kepemimpinan amanah yang menjadikan aturan agama sebagai arah dan tujuan kepemimpinannya. Sebagai bentuk ketundukan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, dimana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.(HR Muslim).

Wallahu a’lam bishshawab. [LM/Ah]

Please follow and like us:

Tentang Penulis