Dalam Dekapan Utang Cina
Lensa Media News, Surat Pembaca-Lembaga riset asal Australia, Lowy Institute, mengungkapkan Cina telah menjadi mitra dan investor pembangunan terbesar di Asia Tenggara. Indonesia menjadi negara yang paling besar menerima investasi serta pembiayaan pembangunan dari Beijing (Republika, 05-06-2023).
Cina melakukan investasi untuk memosisikan negara tersebut sebagai penyedia barang publik global. Tidak bisa kita mungkiri bahwa ketergantungan Indonesia pada Cina begitu berat. Terlihat dari angka peminjaman Indonesia yang terus bertambah. Cina terus merambah cengkraman utangnya di setiap sektor-sektor strategis.
Hal ini tentulah memberikan dampak buruk bagi Indonesia. Beberapa dampak buruk akibat kerjasama dalam bentuk pinjaman ini di antaranya,
Pertama, tekanan politik. Utang yang terus bertambah membuat Indonesia tidak mampu memberikan perlawanan yang tegas atas Cina yang makin agresif di Laut Cina Selatan. Kapal-kapal penangkap ikan dari Cina dilaporkan sering masuk tanpa izin ke wilayah Indonesia di Laut Cina Selatan.
Kedua, utang. Utang adalah gaya penjajahan model baru. Perlawanan fisik atau perang kini sudah tidak digunakan lagi oleh negara Adidaya terhadap negara-negara lemah. Negara Adidaya menggunakan gaya penjajahan yang makin lembut bahkan membuat negara yang dijajah tidak sadar bahwa dirinya sedang dijajah. Utang merupakan bentuk penjajahan model baru. Dengan utang, negara yang diberi utang tidak akan mampu melakukan apa pun. Negara itu akan bertekukuk lutut meskipun harga diri, kekayaan dirampas oleh sang pemilik utang.
Ketiga, Indonesia sebagai Negara muslim terbesar tidak mampu memberikan pertolongan yang berarti kepada sesama muslim Uighiur di Cina, sebab kekuatan utang telah memandulkan kewajiban sesama muslim untuk saling tolong menolong.
Keempat, berakibat fatal terhadap hilangnya aset-aset strategis sebab tidak mampu melunasi utang kepada Cina. Hal ini seperti yang dirasakan Srilanka, harus kehilangan aset strategisnya berupa pelabuhan dan bandara sebab tidak mampu membayar utang.
Kondisi ini akan berbeda dengan Islam. Negara Islam yang telah terkenal kekayaannya akan menimalisir segala bentuk kerjasama dengan kaum kafir sebab negara Islam mampu mengelola keuangannya secara mandiri, sehingga sangat jarang melakukan transaksi peminjaman.
Dalam Ekonomi berbasis Islam sumber keuangan Negara ada pada Baitul Mal, yang teridiri dari 3 pos. Pertama, pos kepemilikan negara didapat dari kepemilikan Negara seperti ghanimah, fai, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Kedua, pos kepemilikan umum didapat dari pengelolaan SDA. Ketiga, pos zakat dan sadaqah. Dari ketiga pemasukan itu terbukti mampu terlepas dari jeratan ekonomi kapitalisme.
Putri Rahmi DE, SST,
[LM, Hw]