Papua Kaya Tapi Merana, Kok Bisa?
Oleh: Anita Ummu Taqillah
(Pegiat Literasi Islam)
Lensa Media News – Papua merupakan wilayah di ujung timur Indonesia, yang memiliki alam asri dan menyejukkan mata. Namun sayang, masyarakatnya masih jauh dari kata sejahtera. Bahkan di musim kemarau ini kondisinya semakin merana, karena kelaparan pun melanda Papua.
Dilansir kompas.com (30/7/2203), Bupati Puncak Willem Wandik dalam keterangan tertulisnya menyampaikan bahwa bencana kekeringan telah menyebabkan enam orang meninggal. Satu diantaranya adalah anak-anak. Para korban meninggal usai mengalami lemas, diare, panas dalam dan sakit kepala.
Selain korban meninggal ternyata juga banyak warga lain yang mengalami kelaparan. Dikabarkan sebanyak 7.000 warga dari Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi di Kabupaten Puncak, Papua Tengah memilih mengungsi akibat kemarau panjang. Kemarau yang terjadi sejak Mei hingga saat ini membuat warna terancam kelaparan. Apalagi lahan pertanian juga rusak dan tidak bisa ditanami. Bahkan sayur-sayuran yang telah ditanam juga rusak dan busuk (detiksulsel, 24/7/2023).
Keadaan ini berkebalikan dengan adanya tambang emas terbesar di sana. Dengan kekayaan emas yang melimpah, seharusnya bencana kelaparan hingga korban meninggal berjatuhan tidak pernah terjadi. Namun mirisnya, tidak hanya kelaparan, kesejahteraan masyarakat di Papua juga jauh panggang dari api.
Padahal dalam laporan Peluang Investasi Emas-Perak Indonesia, Kementerian ESDM menyatakan Pulau Papua memiliki cadangan bijih emas hampir 1,9 miliar ton pada 2020. Jumlah itu setara dengan sekitar 52% dari total cadangan bijih emas nasional (katadata, 19/5/2023)
Belum lagi kekayaan alam lainnya, seperti hutan yang berisi aneka tumbuhan dan satwa, serta lautan dengan aneka ikan dan penghuni lainnya. Sungguh, sejatinya Papua itu kaya, tapi kelaparan ternyata juga melanda warganya. Kok bisa?
Hal itu tidak lain karena kekayaan Papua tidak mereka rasakan. Tambang emas misalnya, justru dikuasai dan dikeruk oleh asing yaitu PT. Freeport. Beraneka konflik pun terjadi karena keadaan ini.
Hal ini membuktikan jika pengaturan sumber daya alam (SDA) di negeri ini telah dikuasai para kapitalis pemilik modal, baik individu maupun swasta. Tidak hanya tambang emas di Papua, nyatanya tambang-tambang lain juga jatuh di tangan Asing, Aseng maupun individu pengusaha. Tak heran, karena negeri ini berada dalam cengkeraman sistem kapitalisme. Sehingga para pengusaha bebas menguasai sendi-sendi hajat hidup masyarakat, yang seharusnya menjadi kewajiban penuh negara untuk mengelolanya.
Jika negara mengelola dengan maksimal, kemudian hasilnya dikembalikan untuk seluruh kepentingan masyarakat, maka kejadian kelaparan tidak akan terjadi. Dengan hasil kekayaan yang berlimpah, negara seharusnya bisa mengantisipasi keadaan-keadaan darurat seperti musim kemarau, bencana dan kondisi lainnya yang butuh penanganan dan solusi segera.
Sebagaimana dalam sistem Islam yang dengan detail mengatur dan bertanggungjawab penuh terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Mulai sandang, pangan, hingga papan, akan dipastikan seluruh individu masyarakat mendapatkannya dengan layak. Bahkan akan diberi kekuasaan untuk memenuhi dan mendapatkan kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kebutuhan masing-masing.
Tidak hanya itu, dalam dunia pendidikan, kesehatan, serta keamanan juga akan dijamin oleh negara. Dengan demikian warga masyarakat tidak dipusingkan dengan kebutuhan pokok seperti saat ini yang sangat sulit didapatkan, terutama bagi masyarakat bawah.
Distribusi barang benar-benar akan diperhatikan, sehingga mahal dan langkanya kebutuhan pokok juga sangat minim terjadi. Apalagi antisipasi saat musim bencana, seperti kemarau panjang dan bencana alam, maka negara akan menyediakan pos-pos khusus yang diambil dari baitul mal. Dimana salah satu sumber baitul mal adalah dari kepemilikan umum seperti tambang emas, batubara, hasil laut, hutan dll. yang haram dikuasai oleh individu maupun perusahaan.
Rasulullah Saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api“. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Sebagaimana contohnya dulu pada masa Khalifah Umar bin Khattab ketika terjadi musim paceklik di Hijaz. Selain mengkoordinir bantuan dan menyalurkan ke masyarakat, beliau juga rela meninggalkan kebiasaan makannya yang cukup, dengan makan ala rakyatnya yang mengalami paceklik. Hingga dikisahkan warga kulitnya berubah dari putih menjadi kemerahan.
Selain itu beliau juga menjadikan musibah sebagai refleksi. Beliau rela menghabiskan malam untuk ibadah mengadu pada Sang Pencipta. Kemudian juga mengajak masyarakat bertaubat dan melakukan sholat Istisqo’. Itulah salah satu contoh penerapan sistem Islam dalam menangani paceklik di masa kekhilafahan.
Wallahu’alam bishowab.
[LM/nr]