Inkonsistensi UU Perkawinan Beda Agama, Cermin Negara Gagal Melindungi Syariat
Oleh: Anastasia S.Pd.
LenSa Media News – Sungguh sangat ironi bangsa Indonesia yang dikenal sebagai mayoritas muslim, namun apa yang terjadi baru-baru ini sangat mengejutkan. Seperti yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), mengabulkan gugatan pasangan beda agama berinisial DRS dan JN.
DRS yang beragam Kristen dan JN yang memeluk agama Islam itu telah melangsungkan pernikahan pada 31 Mei 2023 di Gereja Kristen Nusantara, Jakarta Pusat (Detik.com Rabu, 23/06/2023).
Pada 27 Juni 2022 keduanya melayangkan gugatan ke PN Jaksel. DRS dan JN meminta pengadilan menyatakan perkawinan mereka sah serta pengadilan memerintahkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) menerbitkan akta perkawinan. Gugatan ini dikabulkan sebagian oleh PN Jaksel. Mejelis hakim menolak mengabulkan permohonan DRS dan JN yang meminta supaya pengadilan menyatakan perkawinan mereka sah.
Namun, majelis mengabulkan permintaan DRS dan JN untuk memerintahkan Dukcapil mencatat perkawinan keduanya dan menertibkan akta perkawinan (Kompas.com, 16/09/2022).
Hal serupa pun terjadi di Surabaya, Anak Gede Agung Pranata Humas PN Surabaya mengkonfirmasi tentang permohonan perkawinan beda agama tersebut. Gede melanjutkan, keduanya mengajukan permohonan agar PN Surabaya mengabulkan permohonan untuk memberi izin dalam melangsungkan pernikahan beda agama di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Surabaya (Suara Surabaya, 16/08/2022).
Di sisi lain Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR) Dr. H.M Hidayat Nur wahid di MA mendukung sikap Mejelis Ulama Indonesia (MUI) yang meminta Pengadilan Negeri Surabaya supaya tidak mengizinkan perkawinan beda agama, karena perkawinan jenis tersebut sejatinya tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang Dasar Negara Indonesia (UUD 45).
“Perkawinan beda agama jelas tidak sejalan dengan konstitusi di Indonesia itu mudah dibaca pada pasal 28B ayat (1) dan pasar 28 J ayat (2) UUD 1945,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (23/05/2023).
Ketentuan Pasal 28B ayat (1), UUD NRI 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Sedangkan, soal apa itu perkawinan yang “sah”, sudah jelas dinyatakan pada pasal 2 ayat 2 dan (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum kedua pasangan yaitu mempunyai kesamaan agama. Lebih lanjut, HDW mengatakan Mahkamah Konsitusi yang berwenang menafsirkan dan menjaga konsitusi juga berulangkali menolak judicial review terkait perkawinan beda agama.
Paparan di atas nampak jelas bahwa, undang-undang yang dijalankan di Indonesia tambal sulam dan tidak konsisten. Penetapan undang-undang hanya memunculkan kontroversi dan pertentangan.
UU Sekuler dan Inkonsistensi Hukum
Keluarga sejatinya adalah institusi perlindungan terkecil dalam struktur negara. Walaupun insitusi terkecil, namun keluarga adalah benteng kokoh yang harus dijaga. Karena dari keluarga inilah terbentuk tatanan masyarakat. Kualitas masyarakat ditentukan oleh pendidikan keluarga. Tentu hal yang menyangkut dengan keluarga diawali oleh pernikahan.
Tujuan dari pernikahan sendiri adalah untuk melestarikan keturunan. Dasar menikah adalah aqidah, Nabi Muhammad SAW. telah memberikan petunjuk cara dalam memilih calon pasangan seperti yang tertulis dalam Sahih al-Bukhari :
Dari Abi Hurairah, ia berkata, Nabi Muhammad bersabda: Perempuan dinikahi karena empat, yaitu harta, kemuliaan nasab, kecantikan, dan agamanya, pilihlah wanita yang taat kepada agamanya, maka kamu akan berbahagia (beruntung) (HR Al-Bukhari, 7/7).
Namun faktanya saat ini, Indonesia adalah bangsa yang menerapkan sistem sekulerisme, di mana hak individu dilindungi berdasarkan hawa nafsunya, bukan menjadikan agama sebagai aturan kehidupan. Umat Islam mengalami saat ini mengalami fase kemunduran berfikir dalam memahami agamanya, karena sudah jelas agama hanya dijadikan sebagai ritual belaka. Kemunculan perkawinan beda agama adalah buah diterapkan sistem sekulerisme.
Undang-undang yang lahir dari sistem sekulerisme melahirkan aturan yang tidak konsisten. Hal ini muncul karena hukum buatan manusia syarat kepentingan individu. Hukum yang berasal dari manusia dengan segala keterbatasannya memunculkan kecacatan hukum. Karena sifat dasar manusia yang terbatas, sehingga melahirkan UU yang tumpang tindih karena dipengaruhi keadaan, dan kepentingan.
Negara Gagal Melindungi Aqidah
Munculnya perkawinan beda agama adalah cerminan gagalnya negara dalam melindungi aqidah umat untuk taat syariat. Seharusnya peran negara adalah melindungi rakyatnya agar taat dalam menegakkan syariat Islam. Termasuk melarang adanya perkawinan beda agama. Namun saat ini sekulerisme tengah berkuasa, meniscayakan kebebasan individu. Sehingga memunculkan kerusakan berpikir sehingga, umat terperosok dalam jurang kemaksiatan.
Wallahu ‘Alam.