Islamophobia, Pembakaran Al-Qur’an Berulang
Oleh: Ranita
Lensa Media News-Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan secara khusus kepada Rasulullah Muhammad saw. Di dalamnya berisi sejarah umat dan Rasul terdahulu supaya umat Islam mengambil pelajaran darinya. Tak hanya itu, Al-Qur’an juga berisi seperangkat syariat, yakni kumpulan panduan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dirinya, maupun dengan sesama manusia, baik sesama Muslim maupun Muslim dengan non-Muslim. Karena berisi firman Tuhan, maka sudah sepantasnya umat Islam memuliakan Al-Qur’an. Baik memuliakan fisiknya, maupun isi dan maknanya. Bagi non-Muslim yang beradab dan bermoral, sudah sepantasnya juga ikut menghormati sebuah kitab yang disucikan oleh umat lain dengan tidak menistakannya.
Namun, norma-norma semacam ini tak berlaku dalam sebuah negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan tanpa batas. Di 2023 saja, dengan dalih kebebasan berekspresi, beberapa negara Eropa membiarkan bahkan memberikan pengamanan resmi kepada aksi-aksi penistaaan dan pembakaran Al-Qur’an. Pada Sabtu (21/1/2023) lalu, seorang politisi Denmark yang juga berkewarganegaraan Swedia, Rasmus Paludan, membakar salinan Al-Quran di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm.
Aksi penistaan serupa kemudian dilanjutkan oleh seorang politisi Belanda, Edwin Wagensveld, di depan gedung parlemen Den Haag sehari setelahnya (cnbcindonesia.com, 25/1/2023). Yang terbaru, saat Muslim di seluruh dunia merayakan hari raya Idul Adha, Salwan Momika, seorang pengungsi Irak yang tinggal di Swedia melakukan aksi pembakaran Al-Qur’an pada Rabu (28/6/2023) di depan Masjid Pusat di Stockholm (cnbcindonesia.com, 29/6/2023). Tak hanya membakarnya, pelaku juga menggunakan mushaf Al-Qur’an tersebut untuk menyeka sepatu dan membungkus daging babi (internasional.republika.co.id, 29/6/2023).
Ketiga peristiwa ini jelas bukan yang pertama dan mungkin juga bukan yang terakhir. Selama Islamophobia terus dipromosikan, dan demokrasi dengan kebebasan berekspresinya masih menjadi pandangan hidup negara-negara di dunia, aksi semacam ini akan terus berulang.
Islamophobia dan Kebebasan Berekspresi
Sejak 2022, PBB telah menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional Memerangi Islamophobia. Namun ini tak membuat praktik Islamopobhia surut dan menghilang. Sekjen PBB, António Guterres, menyatakan bahwa hampir dua milyar Muslim di seluruh dunia telah mencerminkan kemanusiaan dalam keragamannya yang luar biasa, namun mereka sering menghadapi kefanatikan dan prasangka karena keimanan mereka (news.un.org, 10/3/2023).
Islamophobia di Eropa tumbuh subur karena dua hal. Pertama, stigma negatif tak berimbang yang dihembuskan oleh media-media barat akibat penerapan Islam secara parsial di negeri-negeri Muslim. Biasanya mereka menyoroti kasus-kasus ketidakadilan terhadap perempuan yang terjadi di sebagian negeri Muslim, dan menuduh Islam sebagai penyebabnya. Padahal ketidakadilan ini justru terjadi karena negeri-negeri Muslim tak menerapkan Islam secara kaffah (keseluruhan).
Ketidakadilan muncul karena praktik budaya patriarki yang kembali eksis setelah runtuhnya Khilafah. Setelah Khilafah runtuh, tatanan sosial tak lagi diatur oleh Islam. Padahal, ketika Islam diterapkan secara menyeluruh dalam intitusi Khilafah, patriarki terkubur mati dibawah penerapan Islam secara totalitas.
Kedua, stigma negatif media tersebut diperparah dengan diadopsinya kebebasan ekspresi sebagai bagian dari empat pilar kebebasan Demokrasi. Tanpa studi ilmiah yang mendalam, sebagian masyarakat Eropa bahkan dunia, menelan mentah-mentah informasi negatif tentang Islam yang mereka terima. Selanjutnya, kebodohan dan kebencian yang berbuah Islamophobia ini mereka ekspresikan secara bebas dan legal. Legal, karena mereka berlindung dibawah hukum positif negara mereka bahwa penistaan terhadap agama dan kitab suci adalah bagian dari kebebasan berekspresi.
Islam Menghentikan Penistaan Agama
Islamophobia sebenarnya bukanlah hal baru. Sejak Islam pertama kali datang di tanah Mekkah jahiliyah, umat Islam telah menghadapi berbagai praktik Islamophobia. Berbagai penistaan tak manusiawi diterima oleh orang-orang yang baru memeluk Islam. Penistaan ini baru berhenti ketika Islam berdiri tegak sebagai sebuah Ideologi yang diterapkan di Madinah hingga kepemimpinan berganti di tangan para Khalifah. Pada masa kepemimpinan Khalifah Abdul Hamid II, beliau berani mengumumkan jihad kepada Prancis dan Inggris saat mengetahui salah satu grup teater asal Prancis berencana mementaskan drama yang menistakan Rasulullah saw.
Sejarah membuktikan, dihadapan pemerintahan Islam, Kebebasan berekspresi yang dijunjung tinggi oleh Inggris dan Prancis menjadi lemah tak berdaya. Barat tak berani menistakan Islam ketika Islam memiliki kekuatan politik yang mampu menyatukan potensi umat Islam sedunia. Karenanya, tak ada cara lain untuk menghilangkan penistaan kepada Islam selain dengan membangun kembali kekuatan politik Islam dengan tegaknya kembali Khilafah. Allahu a’lam bishowab. [LM/ry].