Menyoal Polemik Kemiskinan di Tanah Papua
Oleh : Rahma Elsitasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News-Kemiskinan masih menjadi problem utama masyarakat, tidak terkecuali di daerah Papua dan Papua Barat. Padahal Papua dikenal sebagai penghasil emas terbesar di dunia. Dilansir dari antaranews (15/7/2023), Pejabat Gubernur Papua Barat, Muhammad Musa’ad mengatakan ada anggaran dari provinsi sebesar Rp 40 miliar dan tambahan dana APBD pada setiap kabupaten dan kota untuk menanggulangi kemiskinan ekstrem. Pihaknya tidak menampik bahwa daerahnya masih berhadapan dengan kemiskinan ekstrem.
Namun menurutnya, angka kemiskinan ekstrem di Provinsi Papua Barat Daya yang pada 2021 sebesar 9,05 persen sudah turun menjadi 7,37 persen pada 2022. Bagian wilayah Provinsi Papua Barat Daya yang mengalami penurunan angka kemiskinan ekstrem antara lain Kabupaten Sorong, tepatnya turun dari 14,86 persen pada 2021 menjadi 12,09 persen pada 2022.
Senada itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Theofransus Litaay menyebut dalam kurun waktu 10 tahun prioritas pembangunan Papua yang dilakukan Presiden Joko Widodo banyak membawa perubahan dan keberhasilan di masyarakat paling Timur Indonesia. Keberhasilan tersebut dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua yang mengalami peningkatan, penurunan angka kemiskinan dan naiknya angka harapan hidup. Hal itu ditunjukkan dengan data IPM Papua pada 2010 mencapai 54,45 persen. Angka itu meningkat menjadi 61,39 di 2022 (CNNIndonesia/15/7/2023).
Masih Jauh dari Harapan
Secara angka memang terdapat penurunan tingkat kemiskinan di Papua dan Papua Barat dalam kurun waktu sepuluh tahun. Namun apakah penurunan ini cukup signifikan untuk dikatakan memberikan keberhasilan? mengingat besarnya potensi kekayaan alam khususnya pertambangan. Berdasarkan data Kementrian ESDM, terdapat sekitar 8 potensi mineral logam yang tersebar di seluruh Papua, seperti besi laterit, emas, kobal, nikel, pasir, besi, perak, seng dan tembaga.
Tanah Papua khususnya Papua Barat menyimpan banyak potensi sumber daya alam. Misalnya ibu kota Papua Barat Daya yakni Kota Sorong terkenal sebagai penghasil Migas, Saat ini tercatat ada 350 sumur minyak yang diolah di wilayah Kabupaten Sorong.
Namun sayangnya melimpahnya potensi sumberdaya alam (SDA) tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma mengungkap temuan berdasarkan analisis perspektif hukum bahwa peraturan yang berlaku hingga saat ini lebih banyak menguntungkan pihak investor Migas daripada masyarakat di daerah, atau bahkan merugikan masyarakat.
Banyak masyarakat di area ring I Migas mengeluhkan infrastruktur dan layanan dasar seperti fasilitas umum yang vital, bahkan untuk kebutuhan dasar seperti air yang layak, kebutuhan untuk aktivitas masyarakat, serta infrastrukur pendidikan masih banyak memerlukan perhatian. Bahkan dana CSR yang seharusnya diberikan oleh perusahaan untuk masyarakat belum maksimal terealisasi.
Pengelolaan SDA dalam Islam
Inilah dampak dari liberalisasi SDA yang dilakukan di sistem kapitalis-sekuler saat ini. Potensi SDA yang dimiliki oleh negara dengan bebas bisa dikelola dan dieksploitasi oleh swasta asing/aseng. Misalnya Perusahaan Migas di Papua Barat nyatanya dimiliki oleh perusahaan swasta yakni PT MNC Energy Investments Tbk (IATA) yang saat ini sedang proses akuisisi 85 persen saham PT Suma Sarana (SS).
Dari data Minerba One Map Indonesia (MOMI) milik Kementrian ESDM mencatat setidaknya ada 17 perusahaan yang berada di Papua yang memiliki izin usaha pertambangan untuk operasi, eksplorasi ataupun kawasan penunjang.
Selama SDA masih dikelola dengan sistem kapitalis-sekuler, maka besar kemungkinan masyarakat tidak akan merasakan dampak kesejahteraan dari keberadaan SDA tersebut. Berbeda dengan itu, Sistem Islam memiliki aturan dalam pengelolaan SDA. Yang mana dalam Islam kekayaan alam merupakan bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat.
Rasulullah saw bersabda: “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api” (HR. Ibnu Majah). Dengan penerapan sistem Islam, tentunya kesejahteraan di tanah Papua niscaya akan bisa terwujud, karena pengelolaan SDA diposisikan sebagai harta kepemilikan umum yang dikelola negara untuk mensejahterakan rakyatnya, bukan semata untuk memperoleh manfaat bagi segelintir orang saja.
Semoga saja sistem Islam yang dirindukan masyarakat kembali tegak dan masyarakat dapat hidup sejahtera dengan pengeloaan SDA. Wallahu’alam bishowab. [LM/ry].