Kebijakan Ekspor Pasir Laut, Berbahayakah ?
Lensa Media News-Kebijakan Ekspor pasir laut menimbulkan kontroversi. Setelah 20 tahun pelarangan ekspor pasir laut, kini kembali keran dibuka. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil sedimentasi di laut. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dibukanya keran ekspor pasir laut agar aliran laut terjaga dan meningkatkan nilai ekonomi (www.cnbc.com, 2/6/2023).
Fahmi Radhi, Pengamat ekonomi energi Universitas Gajah Mada, mendesak agar kebijakan tersebut dibatalkan. Menurutnya, kebijakan ini berpotensi merusak lingkungan dan ekologi , menyengsarakan rakyat pesisir laut, dan tenggelamnya pulau-pulau (www. Tirto.id, 1/6/2023). Senada dengan pendapat tersebut, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ( KKP) Susi Pujiastuti berharap ekspor pasir laut dibatalkan. Agar kerusakan lingkungan tidak terjadi (www.cnnindonesia.com, 29/5/2023).
Masing-masing pihak tentu mempunyai argumen yang saling menguatkan pendapatnya. Sebagai seorang Muslim, seharusnya kita menjadikan Akidah Islam sebagai landasan dalam berfikir dan berbuat. Islam memandang pantai tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum. Kepemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh individu atau kelompok. Hanya negara yang wajib, sebagai pihak pengelola harta kepemilikan umum.
Betapapun banyak keuntungan yang akan didapat dari ekspor pasir laut, tidak akan bisa menggantikan pemilik sah sumber daya alam ini. Apalagi jika dibandingkan aspek kerugian dan keuntungan, kerugian lebih besar akan didapatkan Indonesia. Mulai dari rusaknya lingkungan, rusaknya biota laut, tenggelamnya pulau-pulau, menyusutnya luas daratan Indonesia hingga hilangnya mata pencaharian nelayan.
Kekhawatiran rusaknya lingkungan akibat penambangan pasir telah dirilis oleh Environmental Reporting Collective (ERC). Di banyak negara seperti Indonesia, Singapura, Filipina, Tiongkok, Taiwan, India, Nepal , Sri Lanka hingga Kenya telah terjadi kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir. Apakah Indonesia ingin semakin turut menambah kerusakan lingkungan ?
Bagi negara yang berlandaskan sekuler kapitalistik, keuntungan materi menjadi satu-satunya pertimbangan kebijakan diterapkan. Berbeda dengan Islam, hukum syara sebagai penentu kebijakan. Apalagi jika dilihat menimbulkan kerugian, tentu negara akan segera meninggalkan kebijakan tersebut. Ini dilakukan semata-mata karena fungsi negara mengatur urusan rakyatnya. Hanya Islam yang bisa menjaga kepemilikan umum ini. [LM/ry]
Putri Ira