Darurat TPPU, Beranikah Negara Menyelesaikannya?

Oleh : Sulistyowati

 

Lensa Media News – Pada rapat dengar pendapat umum (RDP) dengan Komisi III DPR Rabu (29/3), Mahfud MD menyampaikan rincian hasil pemeriksaan Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang).

Berdasarkan keterangan Mahfud, jumlah entitas yang terlibat TPPU ada 491 orang [ASN Kemenkeu]. Dari data ini tidak hanya nama Rafael beserta nama 25 artis yang diduga terlibat dengannya, namun ada jaringan lain yang terlibat TPPU.

Mahfud juga menjelaskan bahwa jumlah jumlah total transaksi mencapai sekitar Rp349 triliun. Dana tersebut dibagi menjadi tiga kelompok. Kategori pertama berupa Transaksi Keuangan Mencurigakan Pegawai Kemenkeu (Rp35 triliun). Kedua, Transaksi Keuangan Mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai kemenkeu (Rp53 triliun).

Kategori ketiga, yang mencakup jumlah terbesar, berupa Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Kewenangan Kemenkeu Sebagai Penyidik TPA dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu (Rp260,1 triliun). (www.bbc.com/indonesia, 29-3-2023)

Kejahatan pencucian uang bukan kejahatan tunggal melainkan kejahatan ganda, dalam kasus pidana pencucian uang terdapat dua kelompok yaitu ada pelaku yang berkaitan langsung dengan kejahatan dan ada pula pelaku yang tidak berkaitan langsung dengan kejahatan, contohnya penyedia jasa keuangan baik lembaga keuangan maupun perbankan. Dengan demikian pidana pencucian uang termasuk dalam lingkung kejahatan terorganisir. 

Tidak hanya itu efek kerusakannya pun luar biasa. Pencucian uang bisa merongrong keuangan masyarakat sebagai akibat dari besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kejahatan tersebut. Potensi praktik korupsi akan meningkat bersamaan dengan peredaran jumlah uang haram yang  sangat besar. Oleh karena itu, sekalipun ada komitmen dan keseriusan negara dalam menyelesaikan TPPU, kejahatan ini semakin meningkat seolah negara kalah melawan para koruptor yang semakin canggih dalam melakukan pencucian uang. 

Seperti inilah penguasa yang lahir dari sistem kapitalisme demokrasi. Sistem ini batil karena lahir dari asas yang batil pula yakni paham sekulerisme (paham yang memisahkan agama dari kehidupan). Dalam sistem sekuler, jamak terjadi pengawasan negara lemah, bahkan saling kerjasama dalam kejahatan sebab orientasi kapitalisme menjadikan materi sebagai tujuan tertinggi akan membuat penguasa tidak segan-segan memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri , memenuhi kepentingan kelompok atau partai politiknya.

Sangat berbeda dengan kondisi penguasa dalam Sistem islam. Dalam Sistem islam, negara sebagai pelaksana hukum, wajib menggunakan syariah Islam dalam sistem pemerintahannya. Karena penguasa yang dipilih untuk mewakili umat akan memandang bahwa kekuasaan yang mereka dapatkan untuk menerapkan hukum-hukum islam. Hal ini karena dalam Sistem Islam, akidah Islam sebagai landasan dalam setiap aktivitas, termasuk dalam jajaran pegawai pemerintahan.  

Negara akan memastikan setiap pegawainya tercukupi kebutuhan mereka, jaminan kesejahteraan mereka, bahkan gaji yang cukup sehingga mereka akan optimal mengurus kebutuhan umat. Sistem Islam juga memiliki sistem yang komprehensif dalam pencegahan dan sanksi yang memberi efek jera.

Wallahualam bissawab.

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis