Penyakit Kronis Kian Mengancam, Negara Jangan Diam!

Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd

(Aktivis Muslimah Bali)

 

Lensa Media News – Setiap tahun, baik secara nasional maupun internasional, ada saja peringatan tentang hari kesehatan, terutama yang berkaitan dengan suatu penyakit. Lebih dari 50 tanggal yang tersebar di dua belas bulan dalam setahunnya (kesmas-id.com).

Beberapa diantaranya yaitu, 15 Januari diperingati sebagai hari kanker anak sedunia, 22 Februari sebagai hari peringatan anosmia, 24 Maret sebagai hari TBC sedunia, 2 April sebagai hari peringatan autisme sedunia, 20 Mei sebagai hari arthritis autoimun sedunia, 19 Juni sebagai hari sel sabit sedunia, 28 Juli sebagai hari hepatitis sedunia, 1-7 Agustus sebagai pecan ASI sedunia, 29 September sebagai hari jantung sedunia, 6 Oktober sebagai hari Celebral palsy sedunia, 14 November sebagai hari diabetes sedunia, dan 28 Desember sebagai hari kusta sedunia.

Dari sekian penyakit kronis yang ada, diantaranya menjadi salah satu sebab kematian tertinggi pada anak-anak di dunia, termasuk di Indonesia. Dari data WHO, sekitar 400 ribu anak di dunia terdiagnosis kanker setiap tahunnya. Indonesia menjadi penyumbang terbanyak data tersebut, yakni di tahun 2020 ada 8.677 anak berusia 0-14 tahun menderita kanker. Jumlah itu menjadi jumlah terbesar dibandingkan negara lainnya di Asia Tenggara (dataindonesia.id, 15/2/2022).

Dari data yang lebih baru, menurut Ketua UKK Hematologi Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Teny Tjitra Sari mengatakan, ribuan anak Indonesia mengidap kanker sepanjang tahun 2022 sebanyak 2000 an anak dari data yang diambil di 12 RS besar di Indonesia.

Adapun sebaran kanker yang diderita anak-anak Indonesia paling banyak adalah leukemia limfoblastik sebanyak 673 anak. Kemudian disusul dengan leukemia myeloblastik akut sebanyak 144 anak, lalu retinoblastoma sebanyak 102 anak, osteoraskoma sebanyak 91 anak, lomfomamalidna sebanyak 75 anak, nefroblastoma sebanyak 68 anak, neuroblastoma sebanyak 58 anak, leukemia myeloblastoma sebanyak 50 anak, dan tumor ganas sel geminalgonad ganas sebanyak 47 anak (kompas.com, 4/2/2023).

Tak berhenti pada kanker, anak-anak Indonesia juga menjadi penyumbang data diabetes mellitus tipe 1 tertinggi per Januari 2023. IDAI telah merilis data pada 1 Februari 2023 lalu terkait kasus diabetes pada anak yang meningkat 70 kali lipat dibandingkan tahun 2010. Ada 1.645 pasien anak yang tercatat sebagai pasien diabetes berdasarkan laporan dari 13 kota besar di Indonesia, yakni Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Denpasar, Makassar, dan Manado (kompas.com, 7/2/2023).

Masalah stunting yang kini gencar dibicarakan juga menambah daftar panjang masalah kesehatan pada anak-anak Indonesia. Pada tahun 2022, berdasarkan hasil studi SSGI, angka prevalensi tengkes di Indonesia memang turun 2,8% dari 24,4% pada tahun 2021 menjadi 21,6% pada tahun 2022. Namun, pekerjaan masih belum selesai, karena target pemerintah adalah 14,4% pada tahun 2024 (mnctrijaya.com, 20/2/2023).

Data-data di atas dimungkinkan masih bertambah, karena pendataan belum merata di seluruh kota. Untuk itu, perlu kerja sama lintas sektor antara pemerintah pusat, daerah, pihak swasta, serta masyarakat secara umum untuk mendata anak-anak yang terindikasi penyakit-penyakit kronis tersebut.

Dengan berbekal data-data tersebut, maka perlu disadari bahwa kondisi kesehatan anak Indonesia memang berada di titik kritis. Bahkan internasional juga menyoroti kondisi ini. Masalah ini sudah menjadi problem serius dan harus ada penanganan secara cepat dan tepat. Bukan hanya sekadar workshop atau sosialisasi belaka.

Layanan kesehatan yang diberikan pun terkadang hanya berpacu pada alat minimalis dan seadanya. Pasien diminta untuk mencari alternatif sendiri jika tidak mau menunggu antrian dan rujukan ke luar kota. Bahkan untuk mengambil sample pun juga butuh waktu yang lama, apalagi menunggu hasilnya keluar.

Lamanya prosedur layanan kesehatan juga membuat pasien terkatung-katung untuk mendapat kepastian diagnosa penyakitnya. Tak jarang, dalam kondisi kritis pun tindakan medis belum juga dapat dilaksanakan. Alhasil, banyak pasien yang akhirnya berujung di kamar mayat. Astaghfirullah.

Negara wajib bertanggungjawab penuh atas masalah ini. Negara tidak boleh mencukupkan diri hanya dengan pemberian edukasi atau sosialisasi deteksi dini pada orang tua. Karena hal tersebut tidak efektif untuk menangani masalah ini.

Terlebih lagi faktor-faktor pemicu penyakit kronis ini masih saja diberi ruang. Seperti peredaran makanan dan minuman berpemanis tinggi atau berpengawet, penjualan rokok, dan gerai fast food yang semakin merajalela. Meskipun ada bea cukai atau pajak yang diambil dari produk-produk yang beredar tersebut, tetap saja yang diuntungkan adalah industri dan korporasi.

Inilah bukti aturan yang lahir dari sistem kapitalis. Ada dualisme pandangan yang dijalankan. Di satu sisi, Negara menggembor-gemborkan untuk hidup sehat dengan konsumsi bahan alami yang tinggi gizi, tetapi di sisi lain sedang merangkul para investor untuk memasukkan produk-produk luar negeri mereka, yang bahannya pun belum pasti halal dan thayyib.

Kebijakan-kebijakan seperti ini tidak lebih sebatas seruan kosong. Secara perlahan, negara tak mau direpotkan sebagai pengurus rakyat. Sebuah pengabaian kepada hak-hak masyarakat adalah bentuk pengkhianatan seorang pemimpin kepada rakyatnya.

Oleh karena itu, masyarakat harus bertindak untuk mengakhiri kezaliman ini. Masyarakat harus memahami bahwa penjaminan perlindungan mereka, baik kesehatan atau hajat hidup lainnya tidak akan didapatkan pada pemerintahan yang jauh dari Islam.

Maka sudah seharusnya dakwah kepada kembalinya penegakan Islam secara sempurna diterima oleh masyarakat. Karena dengan Islam saja lah penjaminan seluruh kebutuhan umat akan ditunaikan secara adil. Bahkan kasus-kasus kesehatan kronis pada anak dapat terselesaikan dengan cepat tanpa ada drama berkepanjangan.

Wallahu a’lam bish showab.

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis