Kontradiktif, Pelecehan Terhadap Anak Justru di Kota Layak Anak

Oleh: Mia Annisa (Pemerhati Keluarga, Ibu dan Buah Hati)

 

Lensa Media News– Pasca tahun 2022 Bekasi dianugerahi sebagai Kota Layak Anak (KLA) oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) RI kepada Plt Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto bersama 320 kabupaten/kota lainnya. 8 daerah kategori Utama, 66 Nindya, 121 Pratama penghargaan itu diberikan.

 

Namun di sisi lain temuan kasus pelecehan terhadap anak di rantai wilayah Pemerintahan Kota Bekasi tentu harus diperhatikan kembali. Benarkah jika kota/kabupaten Bekasi saat ini benar-benar sebagai kota layak anak?

 

Sangat kontradiktif jika Bekasi disebut sebagai kota layak anak. Pasalnya yang terjadi justru sebaliknya. Seperti yang baru-baru ini ditemukan kasus pelecehan terhadap anak yang menimpa seorang bocah berusia 11 tahun berinisial SA. Ironisnya kekerasan seksual yang dialami oleh SA terjadi sejak korban duduk di kelas 2 SD justru dilakukan oleh ayah tiri korban, yaitu mantan Camat Bekasi timur, Rabu (22/2/2023).

 

Korban mulai memberanikan diri menceritakan perbuatan bejat ayah tirinya kepada bibinya karena korban mengalami trauma berat dan kondisi psikis yang memprihatinkan. Terlebih hal ini terjadi secara berulang selama bertahun-tahun dan dipaksa oleh sang ayah tiri.

 

Seperti telah disebutkan sebelumnya, kasus pencabulan di Bekasi bukan kali ini saja terjadi melainkan sudah berulang kali. Seperti kejadian sebelumnya yang telah dirangkum oleh pihak Megapolitan.kompas.com, pencabulan terjadi pada anak di bawah umur dengan iming-iming permen yang diberikan pelaku pada korban.

 

Menguatkan berita ini Kapolres Metro Bekasi Kota Kombes Hengki mengatakan bahwa keempat pelaku ditangkap pekan lalu dari empat laporan yang berbeda. Pada tahun 2022 terjadi sebanyak 3 kali, sekali terjadi di 2021. Menurut Hengki dalam rilis pers, Selasa (25/1/2022).

 

Sungguh miris jika melihat kasus di atas. Dan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh mantan Camat Bekasi Timur terhadap anak di bawah umur hanyalah fenomena gunung es. Bisa jadi kasus-kasus serupa yang kejadiannya tidak terendus oleh media yang jumlahnya jauh lebih banyak, karena ketidakberanian korban/keluarga untuk melaporkan para pelaku atau bahkan karena malu.

 

Komitmen pemerintah Indonesia dalam mewujudkan perlindungan terhadap anak yang terpatri dalam program IDOLA (Indonesia Layak Anak) yang ditargetkan terwujud di tahun 2030 seolah hanya isapan jempol belaka. Sebab hingga kini gambaran jelas tentang kota yang memberikan perlindungan yang layak bagi anak tak kunjung diwujudkan.

 

Kegagalan dalam menyelesaikan persoalan yang ada sejatinya menunjukkan bahwa persoalan mendasar kekerasan terhadap anak bukan pada sebatas kurangnya kebijakan yang dirumuskan melainkan penerapan sekulerisme dalam kehidupan yang juga sebagai dasar penetapan peraturan yang ada. Sekularisme tidak menumbuhkan rasa takut, bahkan pada sanksi yang ada. Kekerasan terhadap anak tidak lagi dianggap sebagai perbuatan yang keji. Sungguh, penetapan kebijakan tanpa menyentuh akar permasalahan tidak akan memberikan arti.

 

Sementara dalam Islam, salah satu upaya pemenuhan terhadap hak anak adalah dengan mengasuh dan mendidiknya dengan akidah Islam, memberikan tempat tinggal yang baik, memperhatikan kesehatan dan gizinya, serta memberi pendidikan terbaik. Melindungi generasi, artinya mengantarkan mereka mewujudkan tujuan mereka diciptakan, yaitu sebagai hamba Allah SWT yang mengisi kehidupannya dengan beribadah, menjadi generasi khairu ummah yang senantiasa mengajak manusia kepada cahaya Islam, dan melakukan amar makruf nahi munkar, serta menjadi pemimpin orang-orang bertakwa.

 

Bentuk tanggungjawab ini tidak hanya diserahkan di tangan keluarga tetapi negara pun harus turut andil. Sehingga keamanaan dan rasa nyaman tercipta bagi anak dengan memberlakukan beberapa mekanisme memisahkan pergaulan kehidupan laki-laki dan perempuan di kehidupan umum semisal dari sisi berpakaian wanita wajib menutup aurat, larangan berkhalwat, laki-laki harus menundukkan pandangannya agar tidak terbangkitkan naluri seksualnya.

 

Negara juga memberlakukan kebijakan terhadap media melarang pornoaksi dan pornografi bebas bertebaran agar anak-anak terhindar dari eksploitasi seksual serta memicu munculnya kejahatan seksual pada anak. Bahwa media dalam Islam harus berjalan sesuai dengan koridor syariat bukan yang lainnya.

 

Sungguh gambaran kota layak anak yang diidam-idamkan selama ini hanya bisa di realisasikan ketika Islam Kaffah diterapkan. Kota layak anak dalam bingkai sekulerisme saat ini tak lain hanyalah fatamorgana belaka yang jauh dari impian anak-anak bisa hidup aman dan nyaman di dalamnya.

Wallahu’alam.

Please follow and like us:

Tentang Penulis