Pajak: Jalan Ninja Memalak Rakyat

Oleh: Santi Zainuddin

Lensa Media News – Bukan hal yang baru lagi jika pemerintah setiap memasuki tahun baru selalu membuat aturan atau kebijakan baru diawal tahun pasalnya dari tahun ke tahun mulai dari BBM,sembako,tarif dasar listrik,pungutan pajak dan lain – lain selalu mengalami kenaikan dan perubahan kebijakan.

Terhitung 1 Januari 2023 pemerintah telah menerbitkan aturan mengenai pajak penghasilan (PPh). Pemerintah mengubah batas batas penghasilan kena pajak (PKP) menjadi Rp 5 juta per bulan atau kumulatif Rp 60 juta per tahun, dari sebelumnya Rp 4,5 juta sebulan atau kumulatif Rp 54 juta per tahun.

Penyesuaian tersebut dalam rangka menekan defisit anggaran dan meningkatkan tax ratio, sehingga pemerintah mengambil langkah kebijakan fiskal. Salah satunya kebijakan yang diambil pemerintah adalah dengan melakukan reformasi di bidang perpajakan.
Hal ini telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang telah diteken Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2022.

Dalam PP tersebut, setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang berupa penghasilan merupakan objek pajak. Artinya, setiap penghasilan yang diterima karyawan baik dari dalam maupun luar negeri akan dikenai pajak.

Perubahan lapisan tarif PPh untuk melindungi masyarakat berpenghasilan menengah bawah. Banyak masyarakat di kelompok menengah bawah justru beban pajaknya lebih turun,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dikutip dari Kompas TV, Minggu (1/1/2023).

Kedzaliman Terpampang Nyata

Pada dasarnya memungut pajak tanpa kerelaan pemiliknya dan tanpa ada sebab yang yang dibenarkan oleh syariah adalah sebuah kebijakan yang dzolim. Karena faktanya hari ini rakyat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membayar pajak karena pendapatan rakyat Indonesia tidak sesuai dengan kebutuhan sehari-harinya. Sehingga jika pajak di berlakukan kepada rakyat, sama dengan memberikan beban yang bertambah-tambah.

Apalagi kondisi rakyat hari ini benar-benar tidak stabil. Banyak rakyat yang harus menanggung beban hidup karena tidak punya pekerjaan. Sehingga bila kebijakan pajak ini tetap diberlakukan maka akan membuat kondisi masyarakat semakin memburuk.

Di sisi lain, pemerintah mengklaim bahwa dengan menciptakan bracket baru, maka akan memberikan keberpihakan kepada masyarakat yang berpendapatan rendah dan yang memiliki pendapatan yang lebih besar. Membayar lebih tinggi namun tentunya Penetapan Pajak Penghasilan di atas 5 juta adalah untuk menaikkan pendapatan negara.
Inilah yang terjadi jika negara mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Negara akan terus mencari legitimasi untuk menambah pendapatan negara berupa pungutan pajak pada rakyat. Padahal pajak membebani rakyat di tengah kesulitan hidup yang ada.

Dalam sistem saat ini yang diadopsi negara kita tingginya pajak menjadi suatu keniscayaan dikarenakan pajak merupakan sumber penerimaan negara terbesar, yakni 80% pemasok APBN dan PPN menempati urutan ke-2 setelah PPH (Pajak Penghasilan).
Potensi ini terus digenjot untuk meningkatkan pemasukan APBN. Dalam sistem sat ini, penetapan pajak tidak memperhatikan apakah pembayar atau wajib pajak memiliki pendapatan yang mencukupi kebutuhan dan terkategori sejahtera atau masih kekurangan.

Adakah Pemungutan Pajak dalam Islam?

Berbeda dengan sistem Islam , dimana pemasukan dan pengeluaran negara dikenal dengan nama Baitul Mal. Dalam Baitul Mal terdapat beberapa pos, di antaranya pos kepemilikan umum, pos kepemilikan negara, dan pos zakat. Memang benar, di dalam pos kepemilikan negara terdapat pemasukan yang dinamakan dharibah, dilihat dari segi bahasa berarti pajak. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, dharibah sangat jauh dari makna pajak dalam sistem kapitalis.

Dharibah dalam sistem Islam hanya dipungut ketika kondisi di Baitul Mal kosong dan kebutuhan mendesak harus dipenuhi seperti terjadi paceklik, terjadi angin topan, untuk membiayai perang fii sabilillah.

Pada kondisi-kondisi tersebut, khalifah akan memungut dharibah dari kaum Muslim yang mampu. Mampu di sini ukurannya adalah ada sisa harta setelah terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder. Pungutan tersebut hanya bersifat insidental, tidak tetap, ketika terselesaikan masalah kekosongan Baitul Mal dan terpenuhinya kebutuhan mendesak tadi, maka pungutan dharibah dihentikan.

Jadi pajak dan dharibah memiliki makna bahasa yang sama, akan tetapi sangat jauh berbeda pelaksanaanya antara sistem kapitalis dan sistem Islam. Jadi, pilih hidup diatur dengan sistem kapitalis atau sistem Islam? Wallahu A’lam Bishawab.

[LM;ak]

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis