Oleh: Firda Umayah

 

Suara gaduh masih terdengar. Bantingan pintu ayah mengiiringi tangis ibu Ratih. Ratih berselimut sembari menahan air mata di kamarnya.

 

Ia belum siap jika harus memilih yang mana. Ia lelah dengan pertengkaran orang tuanya. Ibunya yang tak dapat diam. Ayahnya yang kurang peduli.

 

Malam itu masih sama dengan malam sebelumnya. Malam yang selalu riuh dengan suara ayah dan ibunya. Sebab hanya saat malam keduanya bertemu.

 

Ditengah malam, Ratih tertunduk dalam sujud malamnya. Tangisnya meraung meratapi nasibnya. Ibunya selalu sibuk. Abai dengan Ratih. Ayahnya pun sering keluar kota.

 

“Aku lelah, Ya Allah,” ucap Ratih lirih. Malam itu, ia kembali tertidur diatas sajadah.

 

Ratih adalah siswi kelas 11 di salah SMA swasta kota Angin. Ia memiliki prestasi di bidang matematika sejak SMP lalu. Namun, sudah enam bulan lalu, prestasi Ratih kian menurun. Guru pembimbing SMA menanyakan perihal sebabnya.

 

“Ratih, kalau ada masalah, kamu bisa bicara dengan ibu,” ucap Bu Bella pembimbing olimpiade matematika. Ratih tak bergeming. Gadis yang berkerudung satu-satunya dikelas itu, kini tak dapat mengikuti olimpiade matematika. Karena ia tak lolos dalam seleksi.

 

Pulang sekolah, ibu Ratih terlihat berada dibalik pagar besi tua. Perempuan itu telah nampak putih rambutnya. Ratih menghampiri ibunya dengan senyuman. Saat Ratih menaiki sepeda motor, ia melihat temannya Santi naik angkot dengan beberapa teman yang lainnya. Padahal dia terbiasa dengan jemputan mobil papanya. Ratih pun lantas bertanya dalam hati, Ada apa dengan Santi?

 

Hari libur pun tiba. Suara bel rumah terus berbunyi, saat embun masih menyapa. Ratih yang merasa terganggu, lantas terkejut dengan apa yang dilihat. Dia segera lari dari kasur empuknya, menuju teras depan.

 

“Sebenarnya, ada apa denganmu Santi?” tanya Ratih dengan cemas usai mempersilakan temannya masuk rumah.

 

Gadis dengan dua lesung pipi itu menjawab, “Orang tuaku cerai, Rat.”

 

Santi lalu bercerita bahwa Papanya telah menduakan Mamanya. Mama Santi tak terima lantas menggugat suaminya. Padahal tak pernah nampak pertengkaran diantara kedua orang tua Santi. Santi menangis dipelukan Ratih. Ia belum terima dengan kondisi keluarganya.

 

Ratih lantas menenangkan Santi. Ratih mengijinkan Santi untuk kembali datang ke rumahnya jika ia membutuhkan.Ratih lantas menenangkan Santi. Ratih mengijinkan Santi untuk kembali datang ke rumahnya jika ia membutuhkan.

 

Sejak tiga bulan perceraian kedua orang tuanya, Santi menjadi lebih sering mengunjungi rumah teman-temannya. Itu ia lakukan untuk menghilangkan penat dirinya.

 

Dari hari itu, Ratih mulai berpikir, melihat kembali kondisi keluarganya. Ia seharusnya bersyukur, dibalik pertengkaran orang tuanya ia masih memiliki waktu bersama.

 

Ratih melanjutkan aktifitas dengan semakin giat dan kembali bangkit untuk mengejar mimpinya. Ia fokus untuk memperbaiki semuanya. Tak ada yang sempurna. Begitu juga dengan keluarga Ratih.

 

Satu hal tertanam dalam benaknya. Segala sesuatu harus disyukuri. Bentuk syukur diberikan dengan ketaatan kepada Allah Swt. Ratih pun semakin semangat untuk beribadah kepada Allah Swt.

 

Mungkin keluarga Ratih tak seharmonis keluarga lain. Namun, ia bertekad akan membimbing keluarganya untuk semakin dekat kepadaNya. Ratih pun semakin semangat untuk belajar Islam kepada orang yang lebih paham darinya.

 

Ratih ingin, ia menjadi setitik embun bagi kedua orang tuanya. Memberikan kesejukan meski embun tak selamanya hadir di setiap hari. Ia juga berusaha menjadi teman berlabuh yang baik untuk Santi. Mengajak Santi bersama sama untuk menjadi muslimah yang lebih baik untuk meraih ridaNya.

(SN/LM)

Please follow and like us:

Tentang Penulis