OTT Hakim Agung MA, Hukum Korupsi Tak Bikin Jera?

Oleh: Anita Ummu Taqillah (Pegiat Literasi)

 

Lensa Media News-Oprasi tangkap tangan (OTT) pada pejabat dan petinggi negara kembali terjadi. Beberapa waktu lalu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) melakukan OTT kepada Rektor Unila (Universitas Lampung). Kali ini Hakim Agung MA (Mahkamah Agung) Sudrajad Dimyati pun tak lepas dari OTT KPK.

Dilansir kompas.com (23/9/2022), Ketua KPK Firli Bahuri dalam jumpa pers pada Jumat (23/9/2022) mengatakan, OTT itu digelar setelah penyidik menerima informasi tentang dugaan penyerahan sejumlah uang kepada Sudrajad atau perantaranya terkait penanganan sebuah perkara di MA.

Korupsi Subur dalam Demokrasi

Kasus demi kasus korupsi masih terus bermunculan di negeri tercinta. Seolah justru berkembang dan tumbuh subur, sehingga selalu ada kasus serupa. Dalam OTT KPK di MA tersebut, ada dugaan tidak hanya dilakukan oleh satu orang. Namun ada kemungkinan beberapa orang juga terlibat di dalamnya.

Dalam kutipan kompas.com (25/9/2022), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebutkan hakim agung yang terseret operasi tangkap tangan (OTT) KPK bisa jadi lebih dari satu orang. Sebab, KPK melakukan OTT di Jakarta dan Semarang pada Rabu (21/9/2022) malam berhasil menjaring 10 orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Lima diantaranya adalah pegawai Mahkamah Agung 4 orang, dan seorang hakim agung yaitu Sudrajad Dimyati.

Bahkan banyak kasus-kasus besar yang telah lalu belum juga terungkap dan belum menuai ujung pangkalnya. Banyak pula pelaku yang belum tertangkap hingga kini entah kemana. Diantaranya adalah Harun Masiku, Surya Darmadi, dll. Ini menunjukkan jika sistem kapitalisme dengan demokrasinya yang bercokol di Indonesia, tidak mampu menyelesaikan permasalahan korupsi.

 

Jerat Hukum Tak Memberi Efek Jera?

 

Jerat hukum bagi para koruptor terlihat tidak memberi efek jera. Sehingga pelaku-pelaku lain terus bermunculan dan kasus-kasus korupsi tumbuh subur di negeri ini. Sebagai buktinya adalah pemberian remisi atau pembebasan bersyarat bagi 23 koruptor pada Agustus lalu. Hal ini tentu menuai pro dan kontra, serta banyak dipertanyakan oleh berbagai kalangan.

Bahkan, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan, korupsi tidak lagi menjadi _extra ordinary crime_ atau kejahatan luar biasa. Sebab, hanya dengan menjalani pidana badan atau kurungan singkat, pelaku korupsi bisa bebas. Salah satunya terlihat dari masa hukuman eks Jaksa Pinangki yang hanya mendekam sekitar 2 tahun penjara. Padahal ia divonis 10 tahun penjara oleh pengadilan tingkat pertama (kompas.com, 8/9/2022).

Zaenur juga mengatakan jika program pemiskinan koruptor tidak berjalan. Sebab hingga saat ini undang-undang yang merampas hasil kejahatan belum juga disahkan, sehingga potensi keuntungan melakukan korupsi lebih tinggi daripada resikonya.

Hal tersebut menunjukkan seolah jika hukuman bagi para koruptor itu ringan, padahal uang negara untuk rakyat yang diambil tak sedikit jumlahnya, miliaran bahkan triliunan. Sungguh, bukankah itu kezaliman yang seharusnya dibayar setimpal?

Namun, begitulah realita hukum dalam sistem kapitalisme demokrasi yang dibuat oleh manusia. Hukuman bisa berubah-ubah sesuai orang-orang yang berkuasa saat itu. Potongan hukuman pun terkesan sangat gampang diberikan, apalagi untuk orang-orang berduit yang justru kasusnya merugikan negara dengan jumlah besar. Sedangkan kasus-kasus yang menimpa kalangan bawah terkesan dipersulit untuk mendapatkan keringanan. Itulah ironi dalam demokrasi, hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Hal demikianlah yang menyebabkan tidak adanya efek jera.

Islam Menyelesaikan Kasus Korupsi

Islam sungguh agama yang sempurna, sebab tidak hanya sebagai agama ritual, namun Islam juga merupakan ideologi yang mampu menyelesaikan segala macam problematika manusia. Islam yang yang bersumber dari Sang Pencipta, tentu sangat pas dalam mengatur ciptaannya. Salah satunya, bagaimana dalam mengatur permasalahan korupsi.

Meskipun tidak ada istilah khusus untuk korupsi dalam fiqih Islam, namun modus-modus korupsi merupakan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Seperti penggelapan atau penyelewengan uang negara yang termasuk dalam khianat atau pencurian uang negara, suapmenyuap atau risywah,freeproyek atau hadiah yang tidak sah, dll. Harta-harta yang didapat dari hal demikian adalah haram.

Maka, sanksi bagi para pelaku modus-modus tersebut adalah termasuk ke dalam _takzir,_ yaitu sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku pelanggaran-pelanggaran baik berkaitan dengan hal Allah SWT maupun hal manusia, dan pelanggaran tersebut tidak ditentukan secara tegas bentuk sanksinya di dalam nash Al-Quran dan hadist. Oleh karena itu sanksi takdir menjadi kompetensi penguasa. Dalam Islam, sanksi takdir dapat berupa hukuman penjara, hukuman denda, masuk dalam daftar orang tercela, hukum pemecatan, potong tangan, bahkan hingga hukuman mati.

Tentu saja penguasa dalam Islam yang seluruh aturan negara tunduk dengan syariat Islam, maka hukuman yang diberikan benar-benar tegas, setimpal dan adil. Tidak pilih kasih antara rakyat miskin maupun kaya. Sebab penguasa dalam Islam adalah pelindung bagi seluruh rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai, rakyat di belakangnya dan dia menjadi pelindung bagi rakyatnya“. (HR Bukhari dan Muslim). [LM/EH/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis