Alasan Pemblokiran Kemkominfo Sungguhkah untuk Perlindungan Konsumen?
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Lensa Media News – Jagad Twitter diramaikan dengan tagar #ProtesNetizen #BlokirKominfo. Berawal dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir delapan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. Delapan PSE yang diblokir tersebut yakni Yahoo search engine atau mesin carinya, Steam, Dota, Counter-Strike, Epic Games, Origin.com, Xandr.com, dan PayPal.
“Kita tidak bisa mentoleransi bagi game yang mencari uang di Indonesia, namun tidak mau mendaftar, tidak mau mengikuti aturan di Indonesia,” ujar Dirjen Aptika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan menegaskan bahwa layanan yang diblokir akan dibuka kembali jika PSE sudah melengkapi pendaftaran. Saat ini pihaknya masih terus meninjau ulang PSE yang sudah mendaftar dan mendata platform mana saja yang belum mendaftar.
Adanya tagar ini sebetulnya membuktikan bahwa banyak netizen yang menentang aturan ini. Alih-alih pemerintah beralasan untuk perlindungan konsumen yang lebih baik, namun malah merugikan. Buktinya, Kominfo justru meloloskan beberapa website judi online website judi online yang terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). Sementara aplikasi seperti PayPal hingga Steam justru diblokir lantaran belum mendaftar sebagai PSE.
Menanggapi tudingan tersebut, Dirjen Aptika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan menegaskan bahwa website-website yang terdaftar sebagai PSE bukanlah sebuah platform judi online, melainkan sebuah aplikasi permainan. Hal tersebut dapat dipastikan setelah pemerintah membuka situs tersebut dan mendownload langsung aplikasi yang dituduhkan masyarakat sebagai judi online. Pemerintah juga mengatakan bahwa permainan itu tidak menggunakan uang melainkan koin.
Sungguh pemaknaan yang rancu. Judi online dan permainan yang dimaksud sesungguhnya mekanismenya sama, ada unsur-unsur judi seperti ada taruhan, undian dan tidak setiap orang menang meski sudah membeli koin. Pemerintah sama sekali tidak tegas, hingga memunculkan polemik. Publik protes keputusan ini karena tidak ada alasan mendasar untuk memblokir. Alih-alih melindungi konsumen dari penipuan dan kerugian, pengguna malah dirugikan dengan pemblokiran tersebut.
Kapitalisme Masih Menjadi Nafas Pemblokiran
Tercatat 95,4 persen pengguna internet di Indonesia bermain game di berbagai macam perangkat, mulai dari PC, konsol, VR, hingga platform media streaming. Demikian pula dengan aplikasi yang digunakan, sebagain besar masih produk luar negeri.
Berdasarkan riset New Zoo pada 2020, nilai ekonomi game di Indonesia mencapai US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 24,2 triliun. Apalagi, jumlah pengguna internet di Tanah Air 202,6 juta atau setara 73% populasi.Sungguh nilai yang luar biasa.
Dan diketahui alasan Kominfo membuka blokir sementara karena melihat keluhan masyarakat yang dananya tertahan akibat pemblokiran ini. Bukan semata karena belum terdaftar sebagai PSE. Bisa jadi, akan berulang kejadian dimana game judi online akan dilegalkan jika sudah mendaftar. Pendapatan dari pajak inilah yang diincar pemerintah, bukti nafas sesungguhnya dari pemblokiran adalah kapitalisme. Sepanjang memberikan manfaat meski dampak negatifnya lebih berat tidak akan dihentikan.
Terlebih setelah beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo meresmikan game sebagai salah satu cabang olahraga, sehingga pemblokiran ini tak sedikit yang beranggapan bahwa pemerintah tidak mendukung perkembangan e-Sports di Indonesia, lantaran beberapa game yang diblokir tersebut menjadi game yang dilombakan hingga tingkat internasional.
Dalam pandangan Islam, pemerintah atau dalam hal ini kominfo wajib melindungi rakyat dari beragam kerusakan dan kerugian. Selayaknya pemblokiran dilakukan dilakukan dengan alasan kuat, yaitu sesuai tuntunan syara’ . Misal terhadap PSE judi atau konten-konten maksiat atau yang tak faedah lainnya. Jangan sampai pemerintah tidak hanya memblokir untuk mendapatkan untung atau memfasilitasi pihak tertentu dan merugikan provider lain.
Kapitalisme Lenyap dengan Penerapan Syariat
Rasulullah Saw bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Artinya, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan wajib menjadikan kekuasaannya sebagai wasilah atau perantara untuk mengurusi urusan rakyatnya. Bukan semata untuk kepentingan perutnya, partai dan kelompoknya.
Namun itulah, kapitalisme yang didukung dengan sistem politik demokrasi justru sukses melahirkan pemimpin yang hanya mau kepentingannya terpenuhi, selain untuk kemakmuran dirinya sendiri juga lantaran ada politik balas budi. Kita tahu, maju sebagai pemimpin di era hari ini berbiaya mahal, tidak mungkin sekaya-kayanya seseorang mampu sendiri menanggung biayanya. Dibutuhkanlah para kapitalis, yang bermodal besar yang sayangnya include dengan mental pengusaha. Tak bisa dipungkiri, pembiayaan mereka kepada individu pejabat atau penguasa berbasis kepentingan pribadi, profit supaya terlaksana
Sedangkan dalam Islam berlaku sebaliknya, kekuasaan adalah amanah, bagaimana keadaan rakyat, kesulitan ataupun tidak adalah tanggung jawab negara sebagai pemenang kekuasaan tertinggi. Terutama pemenuhan enam kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Negara juga sebagai lembaga tertinggi penerap syariat dan penjaga akidah. Maka, negara tak hanya wajib menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam, namun sekaligus menutup berbagai celah masuknya pemahaman asing yang bertentangan dengan Islam.
Demikian pula terkait kesejahteraan rakyat, negara tidak mengandalkan pada pendapatan pajak. Melainkan dari hasil pengelolaan kepemilikan umum. Diantaranya adalah kekayaan alam yang berlimpah yang merupakan kepemilikan umum dan kepemilikan negara seperti fa’i, kharaz, jizyah, zakat dan lain sebagainya.
Wallahu a’ lam bish showab.
[nr/LM]