Penistaan Agama: Upaya Desakralisasi Islam
Oleh: Isti Rahmawati, S.Hum.
(Pegiat Literasi Islam)
LenSa Media News – Salah satu kafe dan restoran Holywings tengah menjadi sorotan setelah mengeluarkan promo minuman beralkohol gratis kepada siapa saja yang bernama Muhammad dan Maria. Promo yang berbunyi, “dicari yang punya nama Muhammad & Maria. Kita kasih Gordon’s Dry Gin atau Gordon’s Pink,” tersebut diunggah oleh akun instagram @holywingsindonesia dan @holywingsbar pada Kamis (22/6).
Akibat dari unggahannya itu, banyak masyarakat terutama umat Islam yang geram dan merespons balik. Postingan tersebut dilaporkan karena berisikan penistaan terhadap agama. Ada pula ormas yang konvoi ke Holywings sebagai bentuk protes dan ungkapan marah atas kejadian tersebut seperti aksi penggerebegan yang dilakukan oleh ormas Forum Betawi Rempug (FBR) pada Selasa (27/6). Akan tetapi, setelah viral dan menuai banyak kecaman, akhirnya pihak Holywings meminta maaf kepada masyarakat. Buntutnya, polisi menangkap dan menetapkan enam tersangka dari tim kreatif Holywings. Keenam tersangka yang merupakan direksi hingga karyawan dijerat pasal berlapis tentang penistaan agama dan ITE dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.
Desakan masyarakat agar Holywings ditindak, disikapi juga dengan cepat di beberapa daerah. Selain penangkapan, satuan polisi pamong praja DKI Jakarta pada Rabu (28/6) menyegel salah satu outlet Holywings di Jalan Tanjung Duren Raya, Jakarta Barat. Tetapi setelah diketahui, ternyata aksi penyegelan tersebut merupakan tindak lanjut dari pencabutan izin usaha 12 outlet Holywings oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jakarta. Pencabutan tersebut tidak berkaitan dengan penistaan agama, melainkan karena Holywings tidak memiliki izin usaha mendirikan bar. Penutupan Holywings juga terjadi di outlet lainnya seperti outlet Holywings di Bandung, Bogor, Surabaya, Tangerang, hingga Manado. Setidaknya ada ribuan karyawan Holywings yang kini terancam kehilangan pekerjaan sebagai buntut dari kasus promo miras oleh Holywings.
Promosi yang dilakukan Holywings dengan mencatut nama Muhammad dan Maria jelas merupakan bentuk penistaan agama. Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad saw. adalah nabi dan rasul yang wajib dimuliakan. Begitu pun dengan Maria yang lebih dikenal dengan nama Maryam oleh umat Islam merupakan ibunda Nabi Isa as. yang harus dimuliakan. Akan tetapi, kedua nama tersebut malah disandingkan dengan khamar yang jelas keharamannya.
Hal itu tentu diketahui oleh manajemen atau tim kreatif Holywings sendiri. Tapi inilah yang terjadi, demi menarik cuan dan perhatian konsumen, mereka sengaja mencatut nama Muhammad dan Maria. Seperti itulah trik marketing zaman now, rela mengangkat simbol-simbol agama demi mencapai target promosi.
Meski menuai banyak protes, banyak juga yang menganggap bahwa respon umat islam terlalu berlebihan. Promosi Holywings tersebut hanyalah ide kreatif tim marketing yang tidak memiliki sensitivitas terhadap masyarakat beragama, seperti yang disampaikan oleh Eko Kuntadhi di kanal Youtube TVOne dalam Catatan Demokrasi pada Selasa (28/6) lalu. Menurutnya, promosi Holywings hanyalah ide kreatif yang tidak perlu dibesar-besarkan dan ditarik ke mana-mana. Tim kreatif Holywings pun bisa jadi tak menduga akan mendapatkan respon yang besar seperti yang terjadi saat ini.
Namun, Felix Siauw, dalam acara yang sama, mengatakan bahwa Holywings telah melakukan sebuah kampanye yang terstruktur, tersistematis, dan pasti disengaja. Ia pun menjelaskan dalam pribahasa bahasa Arab disebut khoolif tu’rof yang berarti ‘selisihilah orang jika ingin terkenal’. Semakin besar kontroversi, maka semakin besar juga ketertarikan orang terhadap sesuatu. Meski begitu, masalah attention dan interest tidak punya value atau nilai, yang penting adalah bagaimana mencari sesuatu yang dapat diselisihi agar terkenal.
Dari sini masyarakat harusnya menyadari bahwa ini adalah promosi yang sudah di-setting sejak awal. Dari sisi pemasaran, praktisi, dan konsultan marketing dari Inventure, Yuswohady menilai promosi yang dilakukan Holywings itu sangat parah. Menurutnya, era media sosial saat ini, konten mudah viral dengan cepat sehingga diperlukan adanya verifikasi sebelum dieksekusi apalagi jika ada unsur SARA di dalamnya (24/6).
Saat masalah ini diangkat sebagai bentuk penistaan agama, ada masyarakat yang justru menganggap persoalan ini tidak dianggap sebagai sebuah penistaan. Ahmad Nurcholis misalnya, di kanal Youtube TVOne dalam Catatan Demokrasi, ia menyebut bahwa nabi, kitab suci, dan simbol-simbol agama tidak bisa dinista. Yang terjadi saat ini hanyalah respon dari penganut agama yang merasa terlecehkan. Menurutnya, ayat atau pasal penistaan agama akan menjadi pasal karet yang akan berdampak buruk pada kehidupan kebhinekaan bangsa.
Apakah pernyataan tersebut tepat?
Penistaan agama yang terus saja berulang, menandakan kehormatan agama tidak bisa dijaga oleh negara. Negara seolah tak mempunyai peran ketika simbol-simbol agama dilecehkan dan menyakiti umat mayoritas di negeri ini. Pada akhirnya, kasus-kasus penistaan hanya berakhir dengan permohonan maaf. Maka, wajar jika kasus penistaan agama senantiasa berulang.
Padahal, mengutip dari www.kemenag.go.id, disebutkan bahwa menyampaikan ujaran kebencian dan penghinaan terhadap simbol agama masuk ke dalam pelanggaran terhadap UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Untuk itu, banyak masyarakat yang menuntut keras agar aparat segera mengusut tuntas kasus ini sampai selesai.
Promosi yang dilakukan Holywings ini juga merupakan puncak dari gunung es narasi-narasi desakralisasi dan monsterisasi agama. Narasi besar itu digaungkan untuk melemahkan fungsi-fungsi agama sehingga patut diwaspadai bersama. Melihat dari Barat, telah tercipta kesan ‘keren’ ada orang-orang yang berani menistakan agama seperti melecehkan simbol-simbol agama, bahkan ada yang dengan sengaja memasukkan scene mengoleskan kotoran ke atas kitab suci.
Secara global, banyaknya pelecehan terhadap Islam adalah akibat dari makin kuatnya hegemoni peradaban Barat yang mengusung sekularisme-liberalisme. Sekularisme dan liberalisme memiliki ide besar yakni menceraikan ajaran agama dengan dunia, sehingga dengan cara desakralisasi Islam hal itu bisa tercapai. Manusia khususnya umat Islam semakin biasa mendengar simbol-simbol bahkan ajaran agamanya dilecehkan. Dengan alasan ‘toleransi’, umat Islam akhirnya membiarkan penistaan terjadi demi menjaga kebhinekaan negara.
Sebagai seorang muslim, tentu kita harus melihat kasus ini dari kacamata hukum syarak. Telah ditegaskan dalam firman Allah SWT, ”Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah, akan mendapat azab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 61)
Dalam Islam, siapa saja yang berani menghina Nabi Muhammad maka diberi sanksi tegas. Kholil Ibn Ishaq Al-Jundiy, ulama besar mazhab Maliki, dalam kitabnya Mukhtashar Al-Khalil, I/251, “Siapa saja mencela Nabi, melaknat, mengejek, menuduh, merendahkan, melabeli dengan sifat yang bukan sifatnya, menyebutkan kekurangan pada diri dan karakternya, merasa iri karena ketinggian martabat, ilmu dan kezuhudannya, menisbahkan hal-hal yang tidak pantas kepadanya, mencela, dan sebagainya, maka hukumannya adalah dibunuh.”
Penghinaan terhadap Nabi dan simbol-simbol Islam seharusnya menjadi tamparan keras bagi muslim, bahwa pada hari ini tidak ada yang mampu menjaga kemuliaan Islam. Negara sekalipun tak mampu menghentikan segala bentuk penghinaan. Padahal negara adalah institusi tertinggi yang seharusnya mampu menjadi perisai bagi umat. Sudah saatnya muslim membuka mata pada realita bahwa hanya Islam yang mampu mengembalikan dan menjaga kemuliaan Rasulullah dan Islam. Wallahu a’lam bishshawab.
ah