Stempel Ustadz Radikal Digoreng Lagi, untuk Kepentingan Siapa?

Oleh: Nurhayati, S.S.T.

 

Lensa Media News – Setelah polemik yang sempat menjadi ketegangan antara BNPT dengan MUI Februari lalu perihal tudingan BNPT yang mengatakan bahwa paham terorisme kembali menyasar ormas, partai politik dan lembaga negara. Kini pemerintah kembali membuat gaduh dengan menghadirkan istilah serupa yakni radikal.

Sempat menuai kontroversi dalam pidato Presiden kepada semua jajaran TNI dan Polri disampaikan di Plaza Mabes TNI, Cilangkap, Selasa (1/3/2022). Di sana ia menghimbau agar istri-istri Tentara/Polri tidak membuat perkumpulan dan mengundang penceramah dengan muatan ceramahnya mengandung konten radikal.

“Ibu-ibu kita juga sama, kedisiplinannya juga harus sama. Nggak bisa, menurut saya, nggak bisa ibu-ibu (istri personel TNI-Polri) itu memanggil, ngumpulin ibu-ibu yang lain memanggil penceramah semaunya atas nama demokrasi” (suara.com, 6/3/2022).

Tidak lama dari itu muncul rilis list 180 penceramah radikal yang tersebar melalui grup whatsapp, dan beberapa ustadz yang sering wara wiri masuk dalam daftar tersebut, seperti Ustadz Ismail Yusanto, Ustadz Felix, Ustadz Fatih Karim, Ustadz Adi Hidayat, dan Ustadz sejuta umat UAS masuk dalam daftar tersebut.

Sebenarnya apa motif dari klaim ustadz radikal ini? Apakah permasalahan bangsa ini bertumpu hanya pada keagamaan semata? Padahal konflik horizontal negeri ini tidak ada unsur muatan beragamanya. Sungguh memprihatinkan!

 

Tudingan Tak Berdasar

Selama ini pemerintah selalu menyasar kelompok-kelompok Islam dalam membentuk framing bahwa sumber ajaran terorisme adalah dari ajaran Islam. Meski tidak menjelaskan secara gamblang terkait tuduhan terhadap satu jamaah namun yang terlihat adalah pemerintah terus memprovokasi publik agar waspada terhadap kelompok atau jamaah dakwah terkhusus bagi tokoh atau ustadz yang memiliki jamaah/followers yang banyak.

Padahal yang mereka tunjuk adalah kelompok dan tokoh umat yang vokal dan kritis terhadap kezaliman dan cenderung memberikan solusi demi perbaikan negeri ini. Sangat disayangkan negeri yang mayoritas Islam ini justru alergi dengan kelompok dakwah dan substansial ajaran Islam. Bahkan tidak sedikit pemimpin negeri ini menghembuskan sikap saling curiga dan islamphobia terhadap rakyatnya sendiri. Padahal saling curiga ini merupakan cabang dosa, sebagaimana firman Allah swt., “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka buruk (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka buruk itu dosa” (TQS. Al Hujurat: 12).

 

Islam dan Kepemimpinan

Pembelaan datang dari Ngabalin yang memberikan pernyataannya “Anda bisa bayangkan kalau dia berceramah di atas mimbar dan dia membandingkan antara pilih Alquran atau Pancasila, kira-kira itu paham apa? Paham radikal” (suara.com, 6/3/2022).

Ia juga mengarakan bahwa paham radikal itu dipakai oleh para ekstrimisme dan para teroris jadi mimbar-mimbar dengan trem agama dipakai untuk mengacaukan situasi politik dan situasi sosial kehidupan masyarakat.

Dari sini kita melihat bahwa yang ditakutkan adalah bukan ustaznya, namun isi dari ceramah yang memang mengkritisi kebijakan yang cenderung zalim sehingga menyebabkan umat menyadari akan tidak baiknya tata kelola sistem demokrasi saat ini.

Kita tentu mengingat di tahun 2019 lalu umat dipolarisasi menjadi dua bagian, yang mendukung figur ulama dalam hal ini Islam dan yang memiliki latar belakang berasal dari partai politik itu sendiri.

Jangan sampai tujuan release penceramah radikal ini justru untuk menjegal laju dakwah yang selama ini digencarkan untuk memperbaiki pemahaman umat dan juga solusi atas problematika di negeri ini adalah kembali kepada Islam.

Berbeda dengan sistem saat ini yang mana ingin meniadakan peran ulama dalam rangka bersinergi bersama mereka untuk memperbaiki kondisi negeri ini. Dalam sistem Islam kepemimpinan dan ulama tidak dapat dipisahkan dari konsep kenegaraan.

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin juz II mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).

Pemimpin seharusnya mampu menginsyafi bahwa boleh jadi segala kesempitan hidup yang diderita oleh negeri ini bisa saja teguran dari Allah, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS. Al-A’raf:96).

Wallahu ‘alam bishowab

 

[el/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis