Cahaya Keadilan dalam Sistem Peradilan Islam

Oleh: Neneng Sri Wahyuningsih

 

Lensa Media News –Jika dua orang menghadapmu meminta keputusan, janganlah engkau tergesa-gesa memuluskan perkara diantara mereka sebelum engkau mendengarkan perkataan pihak yang lain, sehingga engkau akan tahu bagaimana seharusnya engkau memutuskan perkara diantara mereka itu” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

Memutuskan suatu perkara memang tidak boleh asal-asalan. Hal ini dikarenakan akan berakibat fatal dan menimbulkan ketidakadilan. Namun, faktanya di negeri ini masih terjadi kekeliruan dalam memutuskan perkara. Tanpa ditelusuri dengan detail, pihak pelapor yang notabene sebagai korban justru dikenai sanksi dibandingkan pihak tersangka yang sudah jelas-jelas melakukan kesalahan.

Sebagaimana yang dialami oleh Sasmito atau yang lebih akrab dipanggil Mbah Minto. Kakek yang berasal dari Demak, Jawa Tengah ini dituntut dua tahun penjara karena telah melakukan penganiayaan. Padahal jika diselidiki, ia melakukannya demi membela diri, melawan seorang pencuri. Ya, korban yang dianiaya tersebut tak lain adalah pelaku pencurian di lahan kolam ikan tempat Mbah Minto bekerja (Cnnindonesia.com, 30/11/2021).

Miris! Maksud hati ingin membela dan menyelamatkan diri, tetapi justru jadi tersangka. Di mana letak keadilan di negeri ini? Tidakkah sebuah kasus yang terjadi itu ditelusuri secara mendetail terlebih dahulu sebelum menetapkan hukuman bagi seseorang? Lantas peradilan seperti apakah yang mampu memberikan rasa keadilan bagi siapa pun?

 

Jangan Tergesa-gesa

Kesalahan dalam penetapan tersangka bukanlah yang pertama kali terjadi di negeri ini. Beberapa pekan sebelumnya, pihak kepolisian pun melakukan kesalahan yang sama. Kasus tersebut menimpa Valencya yang diduga melakukan KDRT kepada suaminya. Padahal ia melakukannya karena suaminya kerap pulang ke rumah dalam keadaan mabuk.

Namun, akhirnya penetapan tersangka terhadapnya dicabut. Pihak kepolisian menerima restorative justice-nya, sehingga ia pun bebas dari jeratan hukum. Berbeda halnya dengan kasus Mbah Minto ini, permohonan restorative justice-nya tidaklah didengar. Alhasil, beliau harus menjalani hukuman yang telah ditetapkan.

Ironis. Ketika korban melapor pada pihak berwenang, tentulah mereka berharap agar kasus tersebut ditindaklanjuti secara hukum dan pihaknya mendapatkan perlindungan. Namun, fakta berbicara lain.

 

Keadilan dalam Demokrasi Hanyalah Ilusi

Negeri ini mengklaim sebagai negara hukum. Akan tetapi dalam penegakannya terkadang gegabah dan terburu-buru. Seharusnya jika terjadi suatu kasus, maka di periksa dengan cermat terlebih dahulu agar tidak terjadi kesalahan dalam menetapkan tersangka, hukuman dan lainnya.

Tak hanya grasak-grusuk dalam proses peradilan, dalam penegakannya pun kerap terjadi peradilan yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, serta tebang pilih. Bukankah ini berarti keadilan ialah isapan jempol semata?

Adanya carut-marut dalam pelaksanaan hukum di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari sistem yang menaunginya yakni sistem demokrasi-sekularisme. Sistem ini mengadopsi bahwa peraturan dibuat oleh manusia dan harus dipisahkan antara urusan agama dengan kehidupan (negara). Manusialah yang menjadi sumber hukum tertinggi. Padahal, ketika manusia menjadi pembuat hukum, maka akan ada celah dipengaruhi oleh berbagai kepentingan. Tambal sulam dan sering terjadinya revisi terhadap aturan hukum pun sudah menjadi ciri khas dalam sistem ini.

 

Sistem Peradilan dalam Islam

Ketika sistem peradilan sekuler membuka lebar praktik kezaliman, berbeda halnya dengan sistem peradilan Islam. Sistem ini meyakini bahwa kedaulatan hanyalah berada pada hukum syara’. Al-Qur’an dan Sunnah menjadi sumber hukum tertinggi, sehingga standar baik dan buruknya sudah jelas yakni halal dan haram. Dengan demikian, hukum Islam terbebas dari intervensi kepentingan manusia.

Di samping itu, sistem peradilan Islam menjadikan pembuktian (al Bayyinah) menjadi faktor yang sangat penting. Seseorang tidak akan dinyatakan bersalah ketika hakim belum mendapatkan bukti-bukti yang kuat. Maka tidak ada alasan untuk memenjarakannya. Bersamaan dengan itu, sang penuntut harus mampu membuktikan kesalahan pihak tersangka. Jika gagal, berarti kasus tersebut dibatalkan dan terduga harus dibebaskan.

Adapun jenis pembuktian yang diadopsi oleh sistem peradilan Islam di antaranya pengakuan (tanpa ada paksaan dan penuh kesadaran/tidak gila), sumpah, kesaksian, dan dokumen tertulis yang menyakinkan. Hukum dan peradilan Islam ini berlaku untuk seluruh warga negara termasuk para pejabat tingginya. Tidak ada keistimewaan jika sudah terbukti bersalah.

Inilah gambaran kesempurnaan hukum dan peradilan Islam. Sistem yang sesuai dengan fitrah manusia ini akan memancarkan cahaya keadilan yang mampu dirasakan oleh seluruh warga negaranya. Oleh karena itu, penting bagi siapa pun untuk melirik dan mengadopsinya.
Saatnya mencampakkan sistem peradilan sekuler dan menjadikan sistem hukum dan peradilan Islam sebagai pilihan terbaik.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis