Ada Bahaya Apa di Balik UU HPP?

Oleh: Emmy Emmalya

 

Lensa Media News – Belum lama ini lahir lagi undang-undang yang pro terhadap oligarki yaitu UU HPP (Harmoni Peraturan Perpajakan). Keluarnya undang-undang ini mengundang respon dari publik termasuk dari para tokoh.

Salah satu tokoh yang menyampaikan pandangannya adalah Dr. Refly Harun S.H., M.H. dalam Insight ke 102 di kanal YouTube, Rabu 17/11/21. Beliau menyampaikan bahwa UU HPP ini minim partisipasi publik dan esensinya justru tidak mewadahi tujuan nasional yaitu memberikan perlindungan dan kesejahteraan rakyat tapi sebaliknya lebih memfasilitasi para konglomerat, pengemplang pajak dan mereka yang tidak membayar pajak secara benar.
kemudian Dr. Refly Harun menjelaskan bahwa ada dua permasalahan dalam UU HPP ini yaitu :

Pertama, undang -undang ini seperti menyerahkan kepada pemerintah berupa cek kosong atau blangko kosong agar pemerintah bisa menetapkan pajak sesuai dengan keinginannya, sebagai contoh, pemberlakuan pajak pada sembako, pendidikan dan kesehatan bisa berubah-ubah, bisa dikenakan pajak bisa juga tidak tergantung pada kewenangan pemerintah dan itu bisa berpotensi melanggar konstitusi.

Kedua, adanya tax amnesty yang seakan-akan memberikan karpet merah kepada para oligarki, karena laporan tentang tax amnesty itu tidak bisa dijadikan dasar untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Artinya uang-uang haram yang merupakan hasil dari perbuatan ilegal bisa masuk dalam mekanisme tax amnesty dan mekanisme perbankan sehingga tidak dipermasalahkan dari mana sumbernya.

Maka dengan adanya poin pertama yang disebutkan di atas, akan membuat masyarakat menjadi bingung untuk merencanakan keuangan karena tidak bisa menghitung secara persis barang apa saja yang akan dipajaki atau tidak oleh pemerintah.

Hal ini bisa dijadikan sebagai permainan politik oleh penguasa, misal ketika menjelang pemilu PPN-nya bisa dihilangkan setelah selesai pemilu PPN-nya dikembalikan lagi. Sehingga akhirnya rakyat lagi yang akan menderita karena semua barang bisa dikenai pajak.

Begitulah ketika aturan negara disandarkan kepada sistem kapitalis liberal karena semua ditujukan untuk keuntungan semata bukan dalam rangka mengayomi rakyat agar bisa hidup sejahtera.

Akhirnya yang disejahterakan para kapital pemilik cuan dan pemilik kekuasaan, sehingga melahirkan fenomena yang kaya semakin berkuasa dan yang miskin semakin terzalimi.

Sedang poin kedua, sangat terlihat negara begitu membabi buta untuk mendapatkan pemasukan negara dari dana-dana apa pun baik dari hasil korupsi, perjudian dan praktik-praktik ilegal lainnya tanpa memperhatikan halal haram.

Berbeda halnya ketika sistem Islam diterapkan, Islam memiliki mekanisme yang detail dalam mengayomi rakyatnya. Islam mewajibkan bagi penguasa yang diberikan amanah untuk memimpin dan mengatur kekayaan yang di miliki oleh suatu negeri agar bisa didistribusikan ke setiap individu rakyat.

Sehingga dalam Islam sumber pemasukan negara bukan semata-mata dari pajak apalagi utang. Berikut beberapa sumber pemasukan negara dalam Islam :

Pertama, anfal, fa’i, ghanimah dan khumus. Anfal dan ghanimah adalah barang apa pun yang dikuasai kaum muslimin dari harta orang kafir melalui peperangan. Harta tersebut bisa berupa senjata, uang, senjata dan lainnya. Harta fai adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslimin dari orang kafir tanpa peperangan sedangkan khumus adalah seperlima yang diambil dari ghanimah.

Kedua, kharaj. Kharaj adalah tanah yang diperoleh kaum muslim dari orang kafir lewat peperangan atau perjanjian damai.

Ketiga, jizyah. Jizyah adalah harta yang diperoleh kaum muslim dari orang-orang kafir sebagai tanda ketundukan mereka kepada Islam.

Keempat, harta milik umum. Harta milik umum adalah harta yang ditetapkan kepemilikannya oleh Allah dan Rasul-Nya bagi kaum muslim dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama kaum muslim.

Kelima, harta milik negara. Tanah di luar kepemilikan umum berarti milik negara dan seluruh kaum muslim memiliki hak atas itu. Macam-macam harta milik negara bisa meliputi; gunung, padang pasir, tanah mati dan pantai.

Keenam, pajak. Harta yang akan dikenakan kepada kaum muslim yang memiliki kekayaan untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pembiayaan negara ketika baitulmal kosong. Jadi pajak hanya sebagai instrumen yang bersifat temporal.

Islam tidak mengizinkan kekuasaan dijadikan sebagai sarana untuk mendulang kekayaan oleh para penentu kebijakan untuk menzalimi rakyatnya.

Apalagi hingga membebani rakyat dengan pajak yang dikenakan kepada semua lapisan masyarakat. Begitupula Islam tidak memperbolehkan negara berutang hanya untuk keperluan tidak darurat.

Utang hanya dibolehkan ketika negara berada dalam keadaan darurat seperti terkena bencana alam sementara baitulmal negara dalam keadaan kosong. Negara yang diutangi juga bukanlah negara yang termasuk dalam kategori negara kafir harbi fi’lan karena bekerjasama dengannya merupakan perkara yang diharamkan.

 

[mi/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis