Salah Kelola, Burung Baja Tak Lagi Mengudara
Oleh : Ayu Ramadhani
(Aktivis The Great Muslimah Community, Mahasiswa Universitas Negeri Medan)
Lensa Media News – Dilansir dalam internasional.metrotvnews.com, 30/10/21, utang PT. Garuda Indonesia membengkak dari 20 triliun rupiah menjadi 70 triliun rupiah. Beberapa alasan terjadinya kerugian dari maskapai penerbangan nasional ini adalah penurunan revenue sebagai imbas pandemi serta biaya sewa dan operasional pesawat yang tinggi (kompaspedia.kompas.id/, 21/7/21).
Kerugian dari Garuda Indonesia bukanlah hal baru. Kerugian PT. Garuda Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1970 yakni dengan adanya catatan tunggakan utang US$ 3 juta termasuk didalamnya 200 juta rupiah tunggakan dari perusahaan penerbangan swasta. Pada tahun selanjutnya Garuda Indonesia berulang kali mengalami kerugian sehingga mengakibatkan kerugian pada negara dan pengambil alihan utang oleh negara. Pada tahun 1998 Garuda Indonesia merugi US$620 juta dengan posisi utang 2,2 triliun rupiah dan modal minus US$234 juta yang dengan ini Garuda Indonesia dapat dinyatakan bangkrut. Namun nyatanya Garuda Indonesia masih berjalan hingga sekarang.
Tidak hanya mengalami kerugian, tetapi kredibilitas Garuda Indonesia sebagai industri vital negara juga dipertanyakan. Peter Gontha, mantan komisaris Garuda Indonesia menuding saat ini ada empat perusahaan asing yang kongkalikong dengan Garuda Indonesia. Namun, masing-masing perusahaan tersebut sudah mengakui kesalahannya di negaranya masing-masing, bahkan sudah membayar sebesar 2,5 miliar euro. Hal ini tentu membuat citra Garuda Indonesia menjadi keruh.
Garuda Indonesia kini mengalami krisis luar dalam, kerugian yang sudah dimulai pada tahun 1970 dan terus berlanjut menunjukkan dampak yang sangat besar pada tahun 2021 ini. 51 tahun seharusnya adalah waktu yang cukup bagi perusahaan untuk mengintropeksi diri dan melakukan restrukturisasi perusahaan. Namun, dalam kurun waktu tersebut Garuda Indonesia terus mengalami kerugian dan turut andil merugikan negara. Kerugian dan permasalahan internal yang terjadi pada Garuda Indonesia selama bertahun-tahun menunjukkan adanya kesalahan dalam pengelolaan perusahaan. Garuda Indonesia mengambil banyak pinjaman dan berujung pada gagal bayar yang akhirnya diambil alih oleh pemerintah. Selain kesalahan tersebut, kasus korupsi dalam maskapai ini turut memberikan sumbangsih kerugiannya. Kerugian yang besar, kasus korupsi, kongkalikong dengan perusahaan swasta serta manipulasi laporan keuangan dan tidak bersifat terbuka, bukankah cukup membuktikan bahwa maskapai nasional ini sedang tidak baik-baik saja?
Sebagai maskapai penerbangan nasional dan industri vital negara, segala upaya turut dilakukan pemerintah agar maskapai ini dapat bertahan. Skenario yang diupayakan pemerintah adalah restruksi utang, mempailitkan, hingga mengganti Garuda Indonesia dengan maskapai lain sebagai maskapai resmi negara. Namun, hal hal tersebut tidak memiliki jaminan berubahnya arah industri penerbangan negara.
Maskapai penerbangan Garuda Indonesia sebagai industri vital negara harusnya dikelola dengan baik agar dapat memberi manfaat pada seluruh lapisan masyarakat dan menjaga wibawa negara. Pemerintah harusnya memiliki tindakan preventif dan kuratif untuk permasalahan ini. Pemerintah harus bergerak cepat sedari permasalahan “kecil” agar Maskapai Garuda Indonesia ini dapat terlepas dari belenggu utang dan dapat menghasilkan keuntungan dalam kegiatan operasionalnya.
Untuk benar-benar menyelamatkan Garuda Indonesia, hal mendasar yang harusnya dilakukan pemerintah adalah merubah paradigma pengelolaan. Garuda Indonesia sebagai maskapai resmi negara harusnya dikelola dengan baik dengan dasar kepemilikannya adalah milik rakyat, bukan dikelola dengan pengelolaan milik swasta yang berhitung komersialisasi. Selama paradigma pengelolaan tidak berubah, baik Garuda Indonesia maupun maskapai yang kelak menggantikannya, arah dan akhir dari maskapainya tetap sama, yakni berpandang komersialisasi dengan keuntungan untuk para pemilik modal bukan masyarakat hingga berakhir dengan merugikan negara.
Hal ini pulalah yang diterapkan dalam sistem Islam. Islam menetapkan industri vital ini sebagai milik umum dimana modal transportasi dan asetnya adalah milik negara yang harus dikelola sebagai milik rakyat, bukan milik swasta. Modal dan asetnya harus dimiliki sepenuhnya oleh negara tanpa kepemilikan swasta sedikitpun dan dikelola dengan baik dan amanah. Tentunya tetap dikelola dengan pengawasan dari pemerintah atau Khalifah. Sistem Islam juga memiliki sanksi tegas bagi oknum yang melakukan kecurangan dan merugikan rakyat. Begitulah Islam dengan penjagaannya yang luar biasa.
Wallahu’alam bisshawwab.
[faz/LM]