Polemik Diplomatik Dibalik Nama Jalan
Oleh: Yuke Octavianty
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)
Lensa Media News – Pengesahan nama jalan Ataturk akhirnya disepakati oleh pemerintah Indonesia dan Turki. Kedutaan Besar Turki menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah sepakat menggunakan nama Mustafa Kemal Attaturk sebagai nama salah satu jalan di Jakarta (cnnindonesia.com, 22/10/2021). Pernyataan tersebut secara resmi diterima pemerintah Indonesia, baik melalui nota diplomatik yang diberikan oleh pihak Indonesia maupun secara lisan.
Menurut Duta Besar Indonesia untuk Turki, Muhammad Iqbal, awalnya polemik ini terjadi karena Indonesia meminta Turki untuk mengubah nama di depan kantor KBRI di Ankara (Turki) menjadi Ahmet Soekarno, yang sebelumnya bernama Belanda, Holanda Cadesi. Dan akhirnya permintaan Indonesia dikabulkan oleh Turki (tempo.co, 19/10/2021).
Sebagai konsekuensinya, Indonesia pun harus mengganti nama salah satu jalan di ibukota. Rencananya, salah satu nama jalan di kawasan Menteng Jakarta yang akan diganti. Namun, mengenai posisi jalan yang mana, belum ada kepastian. Nama jalan yang disodorkan adalah Kemal Ataturk. Yang mereka kenal sebagai Bapak Reformasi, Pembebas Turki (tempo.co, 19/10/2021). Sontak hal ini menuai kecaman di mata publik.
Penolakan keras dilontarkan oleh Wakil Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia), Anwar Abbas. Anwar menyebutkan bahwa Ataturk adalah tokoh sekuler yang mengacak-acak syariat Islam. Anwar pun memaparkan bahwa Ataturk telah melanggar segala ketentuan yang termaktub dalam Al Qur’an dan As Sunnah (idtoday.co, 17/10/2021). Maka pantas umat Islam marah, umat yang notabene sebagai mayoritas penduduk negeri ini.
Sejalan dengan MUI, kritik keras pun disampaikan oleh Khoirudin, Ketua DPW PKS DKI Jakarta (cnnindonesia.com, 17/10/2021). Tentu hal tersebut menyakiti hati kaum muslim Indonesia. Khoirudin pun meminta pemerintah untuk mengkaji ulang. Mengingat rekam jejak Attaturk sangat sekuler dan diktator. Attaturk juga membuat kebijakan mengubah Masjid Hagia Sophia menjadi museum, mengganti adzan berbahasa Arab dengan bahasa lokal, melarang penggunaan jilbab di sekolah, kantor-kantor yang bersifat pemerintahan.
Kecaman serupa pun dikemukakan oleh Sejarahwan Islam Universitas Indonesia, Dr. Tiar Anwar Bachtiar. Tiar mengungkapkan penolakannya dengan tegas. Karena jelas, bahwa Ataturk adalah penghancur Dinasti Ottoman. Demikian ungkapnya yang dilansir di republika.co.id, 17/10/2021.
Tiar pun mencontohkan nama tokoh Turki yang lebih netral seperti Sultan Selim atau Muhammad Al Fatih, yang bisa dijadikan pilihan untuk nama jalan.
Polemik ini tentu merefleksikan adanya simbol penegasan sekulerisme dalam badan negara. Tanpa memperhatikan sejarah dan dampak buruknya pada jiwa umat. Di negara asalnya saja, Ataturk tak disukai karena terkenal diktator, bengis dan sangat sekuler. Rakyat Turki pun telah beralih haluan. Dengan memandang tokoh-tokoh Islam lebih hati-hati, cermat dan teliti. Karena semakin terungkap segala peristiwa sejarah yang lama terkubur dan terkaburkan.
Lantas, bagaimana dengan umat di negara kita? Umat yang anti-“Attaturk” dikatakan terlalu berlebihan menyikapi polemik tersebut. Negara seharusnya dapat menjamin kenyamanan dan keamanan umat. Terutama kenyamanan dalam pola berpikir. Karena pola pikir adalah awal dari pola tindakan. Taraf berpikir umat pun kian hari kian meningkat. Karena media digitalisasi mendukung pengungkapan sejarah yang lama tersembunyi.
Alih-alih disebut sebagai usaha untuk meningkatkan kemesraan diplomatik kedua negara, namun ternyata menyakiti hati umat.
Hubungan diplomatik antar dua negara dapat menjadikan kedua negara ke arah yang lebih baik dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Tentu, segalanya harus berdasarkan prinsip dasar syariat Islam.
Kebijakan politik luar negeri negara Islam disusun berdasarkan pada usaha untuk mendakwahkan Islam ke seluruh dunia secara efektif. Jadi jelas, tujuannya adalah mensyiarkan syariat Allah ke seluruh dunia. Dengan aturan yang jelas dan pasti. Tidak hanya sekedar hubungan diplomatik yang mengarah pada kepentingan segelintir pihak. Namun, untuk sejahteranya umat di alam raya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Saba’ : 28)
Sejahteranya umat dalam rahmat Allah SWT. hanya dapat diraih dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh pada setiap segi kehidupan. Dalam wadah shahih, Khilafah Manhaj An Nubuwwah. Tak ada pilihan lain.
Wallahu a’lam bisshowwab.
[el/LM]