Ngotot Pindah Ibu Kota Negara: Ironi di Tengah Pandemi
Oleh: Emmy Emmalya
Lensa Media News – Wacana terkait pemindahan ibu kota terus bergulir, dan kini Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemindahan Ibu Kota Negara (RUU IKN) sudah masuk DPR. Pemindahan ibu kota ini seakan dipaksakan, tak peduli dengan kondisi rakyat Indonesia yang sebagian besar terimbas pandemi. Kenapa dana untuk pembangunan ibu kota baru tidak dialokasikan untuk pemulihan ekonomi rakyat dan membiayai pendidikan anak negeri yang tidak bisa belajar karena keterbatasan untuk membeli kuota pulsa?
Seperti diketahui bersama bahwa Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, mengatakan ada sekitar 9 Bab yang berisi 34 pasal yang berkaitan dengan RUU Ibu Kota Negara (IKN) ini. Isi dari RUU IKN ini di antaranya tentang Ibu Kota Negara, bentuk organisasi, pengelolaan, hingga tahap-tahap pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara beserta pembiayaannya (Geloranews, 05/10/2021).
Salah satu alasan diwacanakan perpindahan Ibu Kota ini karena kondisi ibu kota yaitu Jakarta, jumlah penduduknya sudah semakin padat sehingga pemukiman di ibu kota semakin padat.
Bahkan berdasarkan survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 menyebutkan, sebesar 56,56 persen masyarakat Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa (Kompas, 27/08/2019). Selain itu Jokowi juga ingin menghapuskan istilah “Jawasentris” sehingga kontribusi ekonomi di pulau lain juga bisa digenjot.
Padahal, jika mau berpikir secara global penyebab terkonsentrasinya penduduk dan pesatnya pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa, solusinya bukan dengan pindah ibu kota, karena dengan pindah ibu kota tidak ada jaminan tidak terjadinya permasalahan yang sama. Selama sistem ekonominya masih berpijak pada sistem kapitalis yang tidak memperhatikan distribusi hasil produksi sumber daya alam, maka pindah ibu kota bukanlah solusi yang tepat. Apalagi dilakukan di tengah pandemi, dimana rakyat sedang berada dalam kesulitan ekonomi. Sebesar apapun dana yang dikeluarkan untuk perpindahan Ibu Kota Negara, apalagi dananya diduga dari hasil utang, tidak akan mengurai solusi bagi dua permasalahan di atas.
Sebenarnya jika distribusi hasil pengelolaan SDM dilakukan dengan baik dan kondisi pelayanan yang terkait hak hidup orang banyak seperti sarana pendidikan, kesehatan, dan ekonomi di daerah di luar ibu kota sama kualitasnya, maka permasalahan padatnya penduduk dan terkonsentrasinya ekomoni di ibu kota tidak akan terjadi.
Hal ini pernah terjadi ketika hukum Islam diterapkan selama 1300 tahun silam, perpindahan ibu kota kapanpun tidak menjadi masalah bagi rakyat karena distribusi ekonomi merata di setiap wilayah sehingga warga negaranya tidak akan keberatan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh kepala negaranya. Distribusi ekonomi inilah yang tidak ada dalam sistem kapitalis, karena sistem ini tidak mengenal kesejahteraan individu per individu. Dalam sistem ini yang akan berkuasa adalah orang yang memiliki kapital, persis seperti hukum rimba.
Maka adalah hal yang wajar setiap kebijakan yang keluar dari sistem kapitalis hanya akan menghasilkan kesengsaraan rakyat dan selalu mengundang ketidakpuasan dalam hal pelayanan, karena dalam sistem ini tidak mengenal “makan siang gratis” alias semua serba berbayar. Hingga istilah “time is money” pun berlaku, setiap orang berpola pikir materi. Sesuatu yang tidak menghasilkan materi, maka tidak akan menjadi prioritas.
Berbanding terbalik dengan sistem Islam, Islam menerapkan hukum-hukum syariat dalam rangka untuk melayani rakyat bukan untuk mengambil manfaat, maka segala hal yang berkaitan dengan hak hidup rakyat akan ditanggung oleh negara. Karena negara yang berlandaskan hukum Islam mempunyai visi ke depan, yaitu segala perbuatan yang dilakukan di dunia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti.
Apalagi setiap pemimpin dalam Islam akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti terkait kepemimpinannya dalam melayani rakyat. Perlindungan negara Islam dalam hal pemenuhan ekonomi rakyatnya berlapis-lapis. Negara akan memastikan setiap individu rakyat mendapatkan manfaat sumber daya alam yang dikelola negara. Dengan demikian, penjaminan ekonomi rakyat dipastikan akan berada dalam kontrol negara. Sehingga menjadi miskin di negara Islam menjadi perkara yang sulit. Berbeda dengan sistem saat ini menjadi berkecukupan menjadi perkara yang langka.
Demikianlah syariat Islam dalam melayani rakyatnya, semua dilakukan demi kesejahteraan rakyat. Sehingga kebijakan apapun akan mempertimbangkan kemaslahatan rakyatnya bukan untuk individu-individu tertentu apalagi untuk kepentingan asing. Dengan gambaran sistem Islam yang lebih mengutamakan kesejahteraan rakyatnya, tidakkah kita merindukan sistem tersebut tegak kembali saat ini? Apakah masih berharap pada sistem saat ini yang setiap hari selalu menimbulkan ketakutan dan ketidaknyamanan hidup? Allah telah memberikan peringatan dalam Al-Qur’an, tinggal manusia yang memilihnya.
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]