Demokrasi Membuat Rakyat Gigit Jari

Oleh: Agu Dian Sofiyani

 

Lensa Media News – Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang menyoroti rencana anggaran Rp 86 triliun untuk penyelenggaraan Pemilu 2024. Menurut Junimart, anggaran Rp 86 triliun itu cukup fantastis. apalagi ternyata anggaran sampai Rp 86 triliun untuk 2024 itu adalah untuk penyelenggara, bukan untuk para peserta, jadi gajinya (Beritasatu.com, 19/09/2021).

Adapun menurut Wakil Ketua DPD Sultan Najamudin yang turut menyoroti anggaran fantastis Pemilu 2024, biaya pemilu ke depannya pasti akan terus meningkat. Hal tersebut merupakan jebakan dari sistem demokrasi. Lanjutnya, pemilu langsung sudah seperti industri dalam demokrasi di Indonesia sekaligus menjadi ajang adu kuat modal politik yang sumbernya berasal dari cukong dan oligarki (Beritasatu.com, 19/09/2021).

Ya begitulah realita sistem demokrasi. Sistem ini berbiaya mahal dan tidak menghasilkan pemerintahan yang berhasil mengentaskan problematika di tengah masyarakat, apalagi mewujudkan rahmatan lil ‘alamin.

Mengapa? Karena sistem demokrasi lahir dari rahim ideologi sekularisme kapitalisme yang menjauhkan agama dengan kehidupan. Akibatnya aturan dibuat oleh manusia dalam rangka memenuhi kepentingan para penguasa dan oligarki yang telah membiayai para penguasa duduk di kursi kekuasaan. Semboyan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat hanya stempel agar aturan yang dibuat seolah mulia karena mengatasnamakan rakyat. Realitanya aturan dibuat untuk kepentingan para penguasa dan oligarki yang mendukungnya. Adapun rakyat hanya bisa gigit jari dan berjuang sendiri untuk mengejar sesuap nasi.

Jika sistem demokrasi berbiaya tinggi dan bisanya hanya membuat rakyat gigit jari, lalu apakah ada sistem pengganti yang mumpuni?

Jawabannya tentu saja ada. Sistem Islam jawabannya. Dalam Islam, metode untuk mengangkat pemimpin/khalifah melalui proses bai’at. Bai’at ini adalah istilah lain untuk akad (kontrak) politik di antara dua pihak: (1) Umat Islam atau para wakil umat yang sering disebut Ahlul Halli wa Aqdi atau Majelis Umat di satu pihak. Kedua: Seorang kandidat khalifah di pihak lain. Bai’at mengandung komitmen dari pihak umat untuk menaati khalifah yang di-bai’at. Adapun khalifah yang di-bai’at berkomitmen untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di tengah-tengah umat (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm. Beirut: Darul Ummah, 2002, hlm. 56).

Seorang Khalifah yang terpilih tentu telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan Syariat Islam yakni muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu menjalankan amanah kekhalifahan. Dengan mekanisme dan syarat yang demikian, maka akan meniadakan peran oligarki menguasai para penguasa. Karena para penguasa dipilih dalam rangka menjalankan syariat Islam dan khalifah memiliki paradigma bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.

Demikianlah gambaran singkat bagaimana mekanisme pengangkatan pemimpin/Khalifah dalam sistem Islam. Jika sudah jelas hanya Islam yang akan memberikan kebaikan kepada negeri ini, untuk apa kita masih mempertahankan sistem demokrasi?

Wallahu a’lam bishshawab.

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis