PPPK Jadi Cermin Retak Guru Honorer
Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd.
Lensa Media News – Pendidikan berlangsung seumur hidup dari buaian hingga liang lahat. Ini menegaskan peran penting pendidikan dalam kehidupan manusia dari zaman dulu hingga saat ini. Guru memegang peran penting pula dalam penyelenggaraan pendidikan. Tak terkecuali guru honorer, yang keberadaannya sangat banyak dari kota hingga pelosok negeri. Mereka mengajar dengan ikhlas walaupun diupah dengan upah yang minim dan tidak layak. Kini nasib mereka semakin diaduk-aduk dengan jaminan nasib yang tidak jelas ujungnya.
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) adalah jalan yang mesti ditempuh guru honorer untuk mengubah nasib. Terlalu lama guru honorer di nina bobokan dengan jargon “pahlawan tanpa tanda jasa” juga “guru itu bukan buruh karena ia adalah ujung tombak pendidikan bangsa”. Akan tetapi, besaran upah guru honorer jauh di bawah buruh lepas. Walau sudah mengabdi selama puluhan tahun, ada yang menerima Rp 200 ribu per bulan. Sungguh ini upah yang tidak manusiawi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, terdapat 3.357.935 guru yang mengajar di 434.483 sekolah. Sementara jumlah siswa mencapai 52.539.935. Dengan demikian, rasio rata-rata perbandingan guru dan siswa adalah 1:16. Rasio yang ideal dalam pemenuhan layanan belajar. Ditinjau dari status kepegawaian, terang-benderang lah peran signifikan guru honorer. Mayoritas guru honorer. Saat ini baru 1.607.480 (47,8 persen) guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS), sedangkan 62,2 persen sisanya merupakan guru honorer (Mediaindonesia.com, 20/09/2021).
Dalam PP nomor 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan PPPK Pasal 4 (1) dijelaskan, besaran gaji PPPK 2021 untuk guru honorer yang lulus sesuai dengan tunjangan PNS di instansi setempat (Detik.com, 19/09/2021) Kisaran daftar gaji PPPK berdasarkan Perpres No.98/2020 mulai dari Rp.2.686.200 hingga Rp.6.786.500. Terlihat menggiurkan, itupun jika lulus seleksi. Jika tidak, maka impian mendapatkan upah yang layak tinggal janji manis semata. Bak berkaca pada cermin retak. Jasanya tak berharga, hidupnya kembali sengsara.
Pengangkatan guru honorer dengan program PPPK menegaskan buruknya sistem hari ini dalam menyediakan layanan pendidikan bagi rakyat, memfasilitasi pendidikan dengan jumlah guru yang memadai dan berkualitas, serta membiayai kebutuhan pendidikan termasuk dengan menempatkan terhormat dan menggaji secara layak para pendidik. Telah lama jadi guru honorer, dalam keadaan tak lagi muda, mereka berjuang di seleksi CPNS jalur PPPK.
Negara sekuler menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis. Bagi mereka yang ingin membuka sekolah swasta, perizinannya sangatlah mudah. Dengan demikian negara berlepas diri dari problematika kurangnya sekolah bagi warganya. Sedangkan sekolah negeri dibatasi keberadaan guru ASN-nya. Sedangkan pihak sekolah diminta untuk mencari solusi akan kekurangan guru dengan menerima peluang guru honorer yang cuma dibayar seadanya, bahkan tidak layak.
Dahulunya, sistem pengajaran pendidikan Islam disampaikan secara langsung oleh Rasulullah SAW melalui metode dialog dengan para sahabat. Namun, dengan semakin berkembangnya penyebaran agama Islam ke berbagai pelosok negeri, sistem pengajaran pun ditingkatkan. Bahkan dari sebelumnya hanya terbatas di masjid, meluas dengan sistem klasikal.
Berbeda dengan zaman masa awalnya, para guru yang memberikan pelajaran pada para pelajar tidak diberikan upah. Sistem upah atau gaji baru berkembang ketika berdirinya sejumlah kekhalifahan Islam di beberapa negara. Misalnya, Abbasiyah di Baghdad (Irak), Fatimiyah di Mesir, dan Ottoman di Turki. Sistem upah bagi seorang guru baru diperkenalkan pada masa pemerintahan Dinasti Bani Seljuk. JW Draper dalam History of the Conflict menyebutkan bahwa Madrasah (perguruan) Nizamiyah yang didirikan pada masa Khalifah Malik Syah berkuasa adalah institusi pendidikan pertama di masa kejayaan Islam, yang pertama kali menerapkan sistem penggajian kepada para pengajarnya.
Seorang profesor di bidang hukum yang mengajar di Madrasah Nizamiyah menerima upah sebesar 40 dinar (sekitar 170 juta). Sementara profesor yang mengajar di sekolah lainnya di Mesir pada periode yang sama, mendapatkan bayaran sebesar 60 dirham (sekitar 5 juta), sedangkan asistennya mendapatkan 40 dirham (sekitar 3,2 juta). Bahkan, pada masa itu ada seorang pengajar yang menerima gaji sebesar seribu dirham (sekitar 78 juta).
Dari sejarah, jelas bahwa pendidikan di sistem sekuler saat ini berkebalikan dengan sistem Islam yang menempatkan pendidikan sebagai hak dasar publik serta memiliki sistem politik-ekonomi yang mendukung pembiayaan pendidikan secara maksimal. Bahkan mereka diperlakukan sangat mulia dibawah sistem yang baik lagi sempurna ini. Sungguh sistem Islam ini menjadi kerinduan hakiki bagi generasi ke depan yang mengazamkan diri menjadi pendidik peradaban gemilang.
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]