Yusuf Rendy Manilet :Merdeka Ekonomi Butuh Evaluasi Segala Sisi

Reportase – “Konsumsi rumah tangga membaik salah satunya karena April, Mei ada momentum ramadhan dan juga lebaran. Aktivitas belanja masyarakat meningkat, sehingga mendorong perbaikan pemulihan ekonomi. Meskipun ada kesenjangan, dimana konsumsi didominasi kelompok pendapatan menengah ke atas. Ini tentu menjadi evaluasi bagi negeri ini, di usianya yang sudah ke-76 tahun. Bagaimana bisa mendorong perekonomian yang lebih inklusif. Tidak berfokus pada golongan tertentu saja, tapi banyak pihak”, papar Yusuf Rendi dalam diskusi virtual bersama Pusat Kajian Analisis Data (PKAD), Rabu, 18 Agustus 2021.

Insight #63 PKAD kali ini mengangkat tema, “Merdeka di Atas 27 Juta Perut Lapar, Baju Dinas Mewah Anggota Dewan, dan Emas yang Lepas. Malu Kita?”. Hadir tiga narasumber yaitu; Dr. H. Jazuli Juwaini, Lc. M.A., Anggota DPR RI Fraksi PKS. Kedua, Yusuf Rendy Manilet, dari Center of Reform on Economics -CORE Indonesia. Dan ketiga, Dr Ahmad Sastra, Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa.

Yusuf Rendy menyampaikan kinerja perekonomian kita di kwartal II tahun 2021 menunjukkan pemulihan, yaitu tumbuh 7% dibanding kwartal II tahun lalu. Hal ini tidak bisa terlepas dari kinerja konsumsi rumah tangga yang memegang porsi cukup besar dalam kue ekonomi kita. Namun, untuk menjadi negara maju kita membutuhkan pos-pos lain yang lebih stabil, misal ekspor atau investasi.

Kita kaya akan sumber daya, tapi ekspor masih didominasi komoditas primer, yaitu bahan mentah. Hasilnya tentu lebih sedikit. Maka, diharapkan ada hilirisasi dari barang mentah menjadi produk yang bernilai tambah lebih tinggi. Salah satunya dengan re-industrialisasi. Indonesia saat ini mengalami prematur de-industrialisasi. Hal lain karena ketergantungan impor yang tinggi, bisnis linked yang rendah antara pengusaha besar dan UMKM, dan rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

“Hari ini bidang usaha informal masih mendominasi, terutama sejak pandemi. Meskipun ini data jangka pendek, namun ini isu esensial yang akan berdampak pada kondisi perekonomin jangka menengah dan panjang. Tingkat pendidikan kita juga tidak begitu baik jika kita bandingkan dengan negara tetangga”. jelasnya.

Kita adalah negara dengan bonus demografi, dimana proporsi penduduknya banyak diisi usia muda. Tapi tingkat pengangguran usia muda meningkat sejak 3 tahun terakhir. “Ini kontradiktif, jangan sampai bonus demografi yang diharapkan menjadi keberkahan, justru berbalik menjadi bencana demografi dan menjadi beban bagi bangsa”, tegasnya.

Dibandingkan negara-negara tetangga, masalah kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, bahkan sebelum pandemi. Kemiskinan Indonesia tahun 2016, sama dengan Thailand di tahun 1992. Di Vietnam di tahun 2008-2010.

Untuk menjadi negara maju, ada isu-isu penting yang harus di evaluasi pemerintah. Sehingga tidak hanya bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi yang tinggi tapi juga berkelanjutan dan inklusif untuk semua golongan. Bagaimana mendorong negara berpendapatan menengah ke bawah menjadi negara berpendapatan tinggi di 2045 nanti. “Sebagaimana ditargetkan, pendapatan rata-rata masyarakatnya itu 23.000US$. Tentu ini bukan angka yang sedikit, karena posisi saat ini di 2019-2020 dikisaran di 3900”, ungkapnya.

Dengan melihat perbaikan perekonomian di tahun ini, ada kemungkinan Indonesia akan lebih optimis dalam mencapai target menjadi negara maju di tahun 2045 nanti. Pertumbuhan ekonomi setidaknya harus berada di kisaran 6%-7%. “Maka dibutuhkan strategi komprehensif dalam menyelesaikan masalah yang ada. Sehingga indonesia benar-benar bisa mewujudkan kemerdekaan ekonomi yang sesungguhnya dan mencapai visi negara maju di 2045 nanti.” tutupnya. (Hanif Kristanto , Analisis Media PKAD).

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis