Gurita Korupsi di Sistem Sekularisme
Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Pemberantasan korupsi terus dilakukan, tetapi tingkat kejahatan korupsi terus mengalami peningkatan. Menurut Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam konferensi pers secara daring, Minggu (8/8/2021), mayoritas publik nasional 60 persen menilai bahwa tingkat korupsi di Indonesia dalam dua tahun terakhir meningkat (news.detik.com, 08/08/2021).
Berbanding lurus dengan peningkatan kasus korupsi, reaksi masyarakat pun turut prihatin dengan kondisi ini. Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis survei persepsi publik atas pengelolaan dan potensi korupsi sektor Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia. Berdasarkan hasil survei tersebut diperoleh fakta bahwa korupsi menjadi masalah yang paling berbahaya menurut pandangan masyarakat (gatra.com, 08/08/2021).
Apalagi jika melihat mantan terpidana kasus korupsi Emir Moeis ditunjuk sebagai salah satu komisaris di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang merupakan anak PT Pupuk Indonesia (BUMN). Mengutip laman resmi perusahaan, Emir Moeis diangkat menjadi komisaris sejak 18 Februari 2021 lalu.
Sontak penunjukan ini menuai polemik. Penunjukan ini amat melukai hati masyarakat. Sekaligus menjadi bukti nyata ramahnya sistem sekularisme terhadap mantan pelaku korupsi. Bahkan dari semenjak menjadi pelaku saja sebenarnya sudah mendapat perlakuan khusus. Salah satunya rendahnya putusan hukum bagi pelaku korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, selama Januari-Juni 2020, rata-rata vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus korupsi di berbagai tingkatan pengadilan yaitu 3 tahun (kompas.com, 11/10/2021). Serta fasilitas mewah yang tersedia di rutan.
Fakta di atas adalah sekelumit bukti yang mengkonfirmasi hasil survei LSI. Dimana tercatat dalam persepsi masyarakat bahwa korupsi adalah problem besar bangsa. Namun, penyelesaian ala sistem sekularisme terbukti gagal total. Aturan yang terlahir dari akal manusia yang terbatas tak mungkin mampu menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Hanya sistem Islam yang terwujud dalam khilafah yang mampu tuntaskan mewabahnya korupsi. Serta menutup semua pintu terjadinya korupsi.
Penerapan Islam secara total terbukti mampu meminimalisir kejahatan yang ada. Dalam waktu lebih dari 13 abad diterapkannya hukum Allah hanya sekitar dua ratus kasus yang terjadi. Sebab hukum Allah berfungsi sebagai pemberi efek jera bagi yang belum melakukan, dan menjadi penebus dosa bagi yang sudah melakukan tindakan kriminalitas (Al Anshari, 2006:287; Zallum, 2002).
Dalam pemerintahan Islam, terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan memperoleh gaji/tunjangan.
Harta yang diperoleh selain dari memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya seperti suap, korupsi maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi daulah Khilafah hlm. 118). Harta yang diperoleh dengan cara ghulul tidak bisa dimiliki dan haram hukumnya.
“Barang siapa yang berkhianat) dari harta ghanimah sedikitpun, (maka pada hari kiamat ia akan datang) membawa apa yang dikhianatkannya itu pada leher-pundaknya, (kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan kecurangannya) setimpal, (sedang mereka tidak dianiaya) tidak dikurangi kebaikannya dan tidak ditambah keburukannya”. (Tafsir Ibn Abbas, Tanwir miqbas juz I, hlm. 75).
Maka Islam dengan tegas melarang tindakan suap-menyuap. Terutama para penguasa, pejabat dan para penegak hukum. Oleh sebab itu, Islam serta-merta merinci petunjuk pelaksanaan agar tindakan tidak terpuji tersebut dapat diberantas tuntas.
Pertama, menguatkan keimanan para penguasa. Keimanan ini akan melahirkan perasaan mawas diri karena merasa diawasi olah Allah dalam setiap perbuatannya. Kedua, melakukan penghitungan kekayaan para pejabat sebelum dan pasca mendapat amanah jabatan. Kelebihan dari penghitungan akan diambil oleh negara. Kemudian melakukan tabbayun terhadap pejabat tersebut. Apabila terbukti melakukan kejahatan, maka pejabat harus dihukum. Ketiga, penerapan hukum yang tegas. Dalam Islam, hukum selain berfungsi sebagai jawabir (penebus siksa akhirat) & jawazir (pencegahan terjadinya kriminal yang baru terulang kembali).
Adapun sanksi bagi pelaku korupsi berupa takzir. Kadar hukumannya diserahkan pada hakim. Jenis hukumannya disesuaikan dengan berat ringannya tindakan korupsi tersebut, mulai dari sekedar diberikan nasihat oleh hakim, pemberlakuan penjara, pemberlakuan denda, pengumuman pelaku di media publik/massa, hukuman cambuk, dan bisa sampai diberlakukan hukuman mati. (Abdurrahman Al-Maliki dalam bukunya Nizhamul Uqubat). Wallahu’alam bi-ashshawab.
[ry/LM]