Berantas Korupsi, Sebuah Ilusi di Negeri Demokrasi

Oleh: Ummu Qutuz

(Ummahat dan Member AMK)

 

Lensa Media News – Korupsi sepertinya sudah menjadi budaya di negeri ini. Hal ini terbukti dengan adanya survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyatakan tren tingkat korupsi di negeri ini mengalami kenaikan dalam kurun dua tahun terakhir. (detik.com, 8/8/2021)

Bukti terkait hal itu adalah adanya pengumuman mantan terpidana kasus korupsi Amir Moeis jadi komisaris di PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM). Padahal dalam Peraturan Menteri BUMN No: PER-03/MBU/2012 pasal 4 disebutkan bahwa salah satu syarat menjadi dewan komisaris BUMN berbunyi, “Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan dalam waktu lima tahun sebelum pencalonan.”

Aturan tinggal aturan, politik balas budi menjadi pusaran kuat dipilihnya calon-calon komisaris. Ini bukan kali pertama, memilih komisaris yang nyata-nyata tidak memiliki kecakapan dalam memimpin. Padahal masih banyak calon lain yang mampu dan pantas menduduki kursi ini.

Berbeda sekali perlakuan terhadap masyarakat bawah, ketika mereka mendaftar menjadi CPNS atau pegawai BUMN harus memenuhi syarat menyerahkan SKCK dari kepolisian. Apakah peraturan ini tidak berlaku untuk level komisaris? Di mana letak keadilan hukum jika demikian?

Dalam sistem demokrasi kapitalisme, keran korupsi terbuka lebar bahkan memfasilitasinya. Hal ini yang menjadikan mental korupsi menjadi bahaya laten yang sulit diberantas. Indonesia dalam Indeks Prestasi Korupsi yang dirilis Transparency Internasional merosot di peringkat 102 yang sebelumnya peringkat 85. Begitu memprihatinkan. (tribunnews.com, 17/6/2021)

Sudah menjadi rahasia umum, untuk menjadi pejabat di sistem demokrasi butuh modal tebal. Modal itu tidak semua dikeluarkan dari kantong pribadi. Modal untuk memikat rakyat biasanya dari kantong pengusaha yang memiliki kepentingan. Walhasil ketika mereka lolos dan mendapatkan kursi jabatan, tentunya hal yang pertama dilakukan adalah bagaimana membalas budi pada orang yang memberi modal tersebut.

Begitupun dalam penerapan aturan, sistem demokrasi menyerahkan aturan pada kehendak manusia. Kentara sekali aturan dibuat longgar ke atas namun ketat ke bawah. Maka lebih mudah menjadi komisaris daripada menjadi pegawai BUMN biasa.

Kita tidak bisa berharap pada demokrasi untuk bisa memberantas korupsi, karena hal itu hanyalah sebuah ilusi. Lantas sistem apa yang bisa memberantas korupsi sampai tuntas?

Islam memberikan solusi tuntas dalam berbagai hal termasuk pemberantasan korupsi. Ideologi Islam menjadi dasar dalam sistem pemerintahannya. Aturan diterapkan dengan dorongan iman bukan kepentingan. Sistem ini dikenal dengan nama Khilafah, yang telah terbukti selama 13 abad mampu memimpin dunia. Tata aturan yang bersumber dari wahyu Ilahi, membuat sistem ini adil dan tegas. Orang-orang yang ada didalamnya pun amanah.

Penerapan hukum Islam bersifat jawabir (penebus) dan jawazir (pencegah). Sebagai penebus dosa artinya ketika di dunia telah dilakukan hukuman sesuai syariat Islam, maka gugurlah dosa-dosanya di akhirat nanti. Penerapan hukum Islam juga sebagai efek jera, mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan yang sama.

Jika seorang koruptor bertobat dan dihukum sesuai hukum Islam, maka akan diampuni dosanya. Orang yang akan melakukan korupsi akan berpikir seribu kali mengingat ketegasan sanksinya. Penerapan syariah Islam akan meminimalisir tindak kejahatan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk mengambil sistem Islam sebagai pengganti hukum jahiliyah buatan manusia.

Wallahu’alam bishshowab

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis