Kampanye Politik Kembali Digelar, Nasib Rakyat Kian Terlantar?

Oleh: Neneng Sri Wahyuningsih

 

Lensa Media News – Di saat derasnya arus penyebaran kasus virus corona yang belum nampak melandai, himpitan hidup terus menghantui, bukannya para pejabat negeri fokus dalam menyelesaikan pandemi, justru mereka disibukkan dengan persiapan gelaran pesta demokrasi. Hal ini terlihat dengan mulai terpasangnya profil para politikus di berbagai daerah.

Diwartakan dalam Tempo.co (06/08/2021), terpampang sejumlah billboard (baliho besar) tokoh-tokoh partai politik di berbagai daerah. Di antaranya berpotret Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua DPR RI Puan Maharani tersebar di sejumlah jalan protokol di kawasan Bogor. Terdapat pula baliho bergambar Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dengan embel-embel tulisan 2024. Miris. Ketika rakyat membutuhkan sembako, tapi mereka justru meminta perhatian rakyat melalui baliho.

 

Bukan Simpati, Melainkan Antipati

Tak bisa dielakkan, gelombang protes di tengah masyarakat terus mencuat. Tak hanya datang dari masyarakat Bogor, tetapi juga daerah lainnya. Demi meredam kemarahan masyarakat, pihak partai politik berkelit bahwa baliho tersebut tidak berkaitan dengan kampanye pemilu 2024 dan hanya untuk memotivasi para legislator di akhir masa jabatannya. Angka 2024 bukanlah merujuk pada pemilu melainkan akhir masa jabatan. Namun, benarkah demikian?

Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin menganalisis bahwa billboard ini sengaja dipasang sebagai bagian dari sosialisasi dengan tujuan untuk mengangkat popularitas dan elektabilitas mereka menuju Pemilihan Presiden (Pilpres 2024). Pasalnya, sejauh ini elektabilitas mereka masih rendah di mata masyarakat (Tempo.co, 06/08/2021).

Alih-alih menarik simpati, justru yang tumbuh antipati. Mereka geram melihat foto para politikus menghiasi jalan dan menganggap sikap para elit politik ini tak bisa menempatkan situasi. Pasalnya, baliho ini tak mampu mengatasi penderitaan yang tengah dirasakan masyarakat. Di manakah hati nurani mereka?

Selain itu, dalam pembuatan baliho besar, tentu mengeluarkan dana yang cukup tinggi. Heran, tak bisakah dana-dana tersebut lebih diprioritaskan untuk mengentaskan penderitaan masyarakat? Rakyat butuh aksi nyata seperti bansos, biaya kesehatan, ataupun yang lainnya, bukan janji-janji belaka. Rakyat menuntut keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan masalah yang terus mengintai.

Tak bisa dipungkiri, kondisi yang demikian terus saja berulang. Setiap lima tahun sekali, pemimpin terus berganti. Namun, tak nampak solusi yang berarti. Padahal jika saja pejabat negeri ini mau turun tangan dan bertanggung jawab menuntaskan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka popularitas dan elektabilitas akan terangkat. Masyarakat pun akan menaruh kepercayaan penuh pada mereka.

Hanya saja harapan ini hanyalah ilusi belaka dalam sistem demokrasi kapitalisme. Sistem yang menjelmakan materi di atas segalanya sehingga tumbuhlah jiwa pemimpin yang hanya akan mementingkan kepentingannya sendiri. Pikirannya tenggelam untuk mengembalikan dana kampanye dan memuluskan kepentingan kelompok yang mengusungnya. Menampik telah menggulirkan kebijakan yang memihak rakyat, tapi rakyat yang mana? Nyatanya, rakyat jelata yang memihaknya terus meraung-raung kesakitan menahan derasnya penderitaan. Sistem yang rusak, nyatanya tak akan mampu melahirkan pemimpin yang bijak.

 

Sosok Pemimpin dalam Islam

Pemandangan seperti di atas, sangat berbeda dengan pemimpin di masa Islam. Dimana mereka akan memahami bahwa kepemimpinannya merupakan tanggung jawab dunia dan akhirat, yang kelak akan ditanyakan oleh Allah. Sehingga selama memimpin, akan bertanggung jawab atas nasib rakyatnya dan menjaga agama rakyatnya agar senantiasa berada di jalur tauhid dan ketakwaan kepada Allah Swt.

Siang dan malam dalam benaknya selalu dipenuhi dengan pemikiran bagaimana melindungi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh salah seorang amirul mukminin yakni Khalifah Umar ra., beliau berkata, “Aku sangat khawatir akan ditanya Allah Swt. kalau seandainya ada keledai terpeleset di jalanan di Irak, kenapa aku tidak sediakan jalan yang rata.”

Ungkapan di atas menunjukan, begitu besarnya perhatian seorang pemimpin terhadap nasib rakyatnya. Terhadap hewan saja khawatir jika terperosok, terlebih jika hal tersebut terjadi pada manusia. Nyawa manusia begitu berharga. Mereka tak akan menelantarkan rakyat yang telah memberikan kepercayaan padanya.

Ketika sistem yang bersumber dari Sang Pemilik Kesempurnaan dijalankan secara totalitas atas panggilan keimanan maka akan tumbuh berbagai kebaikan, keadilan, kesejahteraan, serta kepedulian para pemimpin. Akan tercipta pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyatnya. Bersama-sama berada dalam jalur yang benar untuk terus mencintai Allah dan Rasul-Nya, saling berpesan dalam ketakwaan dan menasehati dalam kesabaran. Masihkah berharap pada pemimpin yang minim empati dan senang menelantarkan rakyat?

Wallahu a’lam bishshawab.

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis