Nyata Merdeka dalam Sistem Kapitalis?

Oleh: Putri Dwi Kasih Anggraini

 

Lensa Media News – Seperti biasa setiap tanggal 17 Agustus, diperingati sebagai HUT Republik Indonesia. Tema yang diusung untuk tahun ini ialah Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh. Tepat tahun ini Indonesia memasuki 76 tahun kemerdekaan. Menyemarakkan HUT RI tahun ini tentu berbeda dengan tahun-tahun tanpa pandemi, perlombaan demi perlombaan diadakan sudah menjadi rutinitas tahunan khas negeri ini meski ditahun ini hanya dilakukan virtual.

Kita jumpai semarak HUT RI tahun ini diisi dengan lomba tebak baju presiden yang akan digunakan saat upacara (Sulsel.suara.com, 14/08/2021). Ataupun lomba tiktok prokes 5M yang digelar oleh Kemendagri (Tanjungpinangkota.go.id, 05/08/2021). Adapun Kementerian komunikasi dan informatika menjelaskan bahwa perayaan kemerdekaan merupakan momentum yang penting untuk diperingati, karena dapat membangkitkan kembali nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme bangsa (Tekno.sindonews.com, 10/08/2021).

Jika menyaksikan lalu merespon dengan penuh kejujuran atas kondisi yang dialami di negeri ini, apakah betul kemerdekaan itu nyata? Sebelum menjawabnya tentu kita perlu mengetahui terlebih dahulu, sebuah kata “merdeka”.

Merdeka berasal dari bahasa Sansekerta yakni mahardhika yang berarti kaya, sejahtera, dan kuat. Adapun dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), definisi merdeka adalah bebas (dari penghamblaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri, atau tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Jadi bisa disimpulkan bahwa merdeka itu bebas dari cengkeraman penjajahan apapun bentuknya atau berlepas diri dari intervensi pihak tertentu. Maka bagaimana kondisi negeri ini? apakah betul sudah merdeka?

Satu fakta menunjukkan bahwa negeri ini belum nyata merdeka, lihat saja negeri ini masih berada di bawah tekanan utang luar negeri yang semakin bengkak hingga lebih dari Rp. 6.500 Triliun per akhir juni 2021 (Merdeka.com, 24/07/2021). Bahaya utang ini menjadi jebakan bagi negara pengutang melalui bunga dan kurs dolar, tentu ujungnya berimbas pada makin dikuasainya perekonomian dan politik negeri ini. Inilah sebuah realita dari keburukan sistem kapitalisme yang membuka banyak bencana bagi negeri yang menerapkan.

Lembaga keuangan Internasional ataupun Negara-negara maju yang menawarkan bantuan pinjaman ke negara-negara miskin dan berkembang dengan dalih membantu mempercepat pemulihan ekonomi khususnya dalam kondisi pandemi sebetulnya hanya sekedar ‘manisan’ di mulut. Hal ini karena sistem kapitalisme tak mengenal kata tulus untuk benar-benar membantu menyelesaikan persoalan, pijakan sistem ini hanya materialistik.

Buktinya, apakah dengan menambah utang luar negeri benar telah menyelesaikan kemiskinan? Bukankah malah makin terpuruk? Nah, lalu keuntungan apa yang didapat saat negeri ini berutang? Jawabnya tidak ada, sama sekali. Justru mengundang bencana demi bencana.

Pertanyaan berikutnya mengapa masih berutang? Jawabnya karena ada pihak-pihak tertentu yang menginginkan kecipratan keuntungan dari utang luar negeri tersebut.

Sebagaimana mengutip di laman Muslimahnews.com (12/06/2021), seorang hakim Mahkamah Agung Amerika, William Douglas tahun 1962 mengatakan bahwa mengenai alasan negeri-negeri berkembang tetap berutang pada Amerika walau pada kenyataanya utang tersebut semakin memiskinkan negaranya, yaitu karena pejabat-pejabatnya mendapatkan manfaat dari utang luar negeri. Maka dari itu, nyata merdeka sejatinya belum.

Ketika manusia menginginkan kemerdekaan maka pakailah Islam sebagai jawaban. Kemerdekaan yang diraih manusia bukan kemerdekaan yang direkayasa oleh penjajah sebagaimana yang banyak terjadi di negeri-negeri muslim kini. Bukan kemerdekaan yang tetap melanggengkan kekuasaan penjajah lantas umat Islam berada dalam kemunduran dan keterpecahbelahan di bawah garis nasionalisme dan sistem kapitalisme.

Kemerdekaan yang sesungguhnya sesuai ukuran akidah adalah menyadari dirinya sebagai seorang manusia yang menghamba kepada Allah SWT semata. Menghamba kepada pencipta-Nya dengan ketundukan yang sempurna terhadap seluruh aturan yang telah ditetapkan baik bersumber dari Al-Qur’an maupun hadist Rasulullah SAW. Umat Islam merdeka dalam menerapkan seluruh hukum syariat yang menjadi jalan kebangkitan dan kemuliaannya.

Oleh karena itu, peringatan HUT RI sama saja tak memberi pengaruh apapun. Hanya sekedar seremonial yang diisi dengan rutinitas upacara dan ditambah hiburan dalam perlombaan. Padahal seharusnya diisi dengan aktivitas muhasabah atas sistem dan kebijakan penguasa dewasa ini. Tentu muhasabah yang disertai akidah Islam sebagai ukuran menilai dan syariah Islam sebagai jawaban shahih menyelesaikan seluruh persoalan menuju kemerdekaan hakiki. Terakhir, sampai kapan kita berada dalam kemerdekaan yang semu?

Wallahu a’lam.

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis