Pandemi Menjalar, Kapitalisme Gagal Total
Dalam negara kapitalis, rakyat kerap dianggap beban tatkala tidak memberi keuntungan. Sebab tolok ukur kapitalis adalah materi semata. Wajar jika dalam penanganan pandemi pun pemerintah yang berasaskan kapitalis sering berpikir untung rugi dalam menerapkan kebijakan. Misalnya pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan tidak secara totalitas karena mengandung konsekuensi ekonomi yang berat. Padahal UU ini disahkan oleh penguasa hari ini yang pernah mengatakan bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (salus populi suprema ex). Realitanya justru pemerintah sekadar gonta-ganti istilah. Alhasil pandemi semakin menjalar hingga keluar Jawa-Bali.
Tercatat per 6 Agustus 2021 terjadi lonjakan kasus di lima provinsi (Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Papua, Sumatera Barat dan Riau) menjadi 21.374 kasus atau 54 persen dari kasus nasional (www.cnnindonesia.com, 7/8/2021). Hal tersebut akibat istilah “lockdown” amat dihindari, karena ketidaksanggupan pemerintah dalam meriayah masyarakat secara menyeluruh. Sementara menurut ekonom senior, Rizal Ramli, mantan Menko Ekuin era Presiden Gus Dur serta Menko Bidang Kemaritiman dan Sumberdaya era Presiden Jokowi, lockdown harus diberlakukan saat ada varian baru muncul di Indonesia. Ia melakukan kalkulasi anggaran untuk memberlakukan lockdown. Selama tiga bulan lockdown, kalkulasi untuk memberi makan 70 juta keluarga hanya sebesar Rp 105 triliun per bulan (Rp 1.500.000,00 per keluarga). Totalnya Rp 315 Triliun ditambah kebutuhan obat sebesar Rp 100 triliun menjadi Rp 415 triliun (politik.rmol.id, 26/7/2021).
Tetapi opsi tersebut dinilai terlalu berat dijalankan, lantaran keterbatasan dana negara. Benarkah demikian? Padahal pada 16 Mei 2020 DPR RI mengesahkan Perppu No.1 tahun 2020 menjadi UU No. 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Salah satu pasal kontroversial dalam UU ini adalah, bahwa UU ini memberi kewenangan penuh pada pemerintah untuk melakukan penyelamatan masyarakat dalam situasi pandemi meskipun harus mengambil utang sebanyak-banyaknya (www.pajakku.com, 13/5/2020).
Data menunjukkan bahwa APBN dibiayai dengan utang mencapai Rp 1.226,8 triliun selama 2020, yakni naik tiga kali lipat dari tahun sebelumnya (www.cnbcindonesia.com, 7/1/2021). Maka dengan kalkulasi dari Rizal Ramli dimana dana lockdown selama tiga bulan mencapai Rp 415 triliun, seharusnya cukup, bahkan masih berlebih dan bisa digunakan untuk testing, vaksinasi, pemberian bonus untuk tenaga kesehatan, peningkatan fasilitas kesehatan, penyediaan tabung oksigen dan lain-lain.
Jelas penanganan pandemi seperti itu bisa terealisasi dengan baik asalkan penguasa hadir dengan niat benar-benar untuk menyelamatkan seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya menjamin kepentingan oligarki saja. Mindset seperti ini selamanya tidak mampu diwujudkan oleh sistem kapitalis. Satu-satunya yang bisa menjamin terakomodirnya kepentingan rakyat hanya jika kembali kepada sistem yang benar, yakni sistem Islam. Jiwa, akal, kehormatan, kepemilikan dan eksistensi individu akan dijaga melalui penerapan syariat Islam, termasuk saat pandemi saat ini. Penanganan pandemi sungguh telah berhasil dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Maka sudah seharusnya umat manusia, terutama kaum muslimin, kembali kepada aturan Islam kafah. Wallahu’alambishawwab. [lnr]
Mimin Diya