Viral di Media Sosial, Untuk Apa?
Oleh: Dina Wachid
Lensa Media News – Masyarakat masa kini tak bisa dilepaskan dari media sosial. Mereka menggunakannya untuk berbagai hal. Mulai dari urusan bisnis, pekerjaan, sekolah/kuliah, silaturahmi, hobi, update info kekinian, hiburan, aktualisasi diri, sampai untuk bisa terkenal. Menjadi viral di media sosial dianggap ‘prestasi’ tersendiri di era digital.
Demi konten media sosial, orang rela melakukan apa saja bahkan sampai membahayakan nyawa. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, dimana sejumlah remaja nekat mengadang truk untuk membuat konten TikTok. Nahasnya, salah satu remaja tersebut akhirnya tewas setelah tertabrak truk yang diadangnya (cnnindonesia.com, 15/7/2021).
Sementara itu di kota Madiun, tiga pemuda mencuri pocong yang merupakan bagian dari diorama sosialisasi bahaya Covid-19 yang terpasang di depan pos polisi. Aksi tersebut lagi-lagi demi konten di media sosial. Mereka pun akhirnya diamankan oleh pihak kepolisian (regional.kompas.com, 12/7/2021).
Kedua aksi tersebut dilakukan supaya bisa menjadi terkenal, tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Memang bermacam cara orang untuk meraih popularitas di dunia maya, mulai dari cara yang wajar hingga cara yang unik. Tak jarang yang viral dan terkenal adalah yang berbau sensasional, nyeleneh, bahkan berbahaya. Mereka tak berpikir panjang, hanya demi kesenangan sesaat.
Aksi-aksi yang seringkali tak mengindahkan aturan hingga merugikan orang lain, berurusan dengan pihak berwajib, bahkan berakhir dengan kematian. Lantas untuk apa menjadi viral bila malah merugikan, hidup tak tenang, atau malah dijemput malaikat maut?
Media sosial kini menjadi tempat orang untuk berbagi apapun. Seolah kadang tanpa filter sama sekali. Bebas, sebebas-bebasnya. Mau posting apa saja, terserah. Mau nyinyir bin julid seperti apapun, nggak tanggung-tanggung. Sopan santun seringkali hilang. Adab juga lenyap.
Sistem liberal yang mengagungkan kebebasan, mengikis akal dan rasa kemanusiaan. Kapitalisme yang bersendi pada keuntungan materi membuat orang hanya peduli untuk menghasilkan pundi-pundi. Norma-norma yang ada ditabrak. Aturan yang dibuat sendiri pun dilanggar tanpa ragu. Agama, entah dimana ia berada.
Padahal sejatinya, popularitas di dunia, apalagi maya, tak akan bertahan lama. Roda dunia akan terus berputar. Mereka yang hari ini di atas, esok bisa saja di bawah. Kesuksesan tak selalu dalam genggaman, begitu pula sebaliknya. Si kaya dan berkuasa saat ini, cepat atau lambat akan mengalami penurunan posisi.
Kalaupun terkenal, namun bila terkenal karena sesuatu yang buruk, apakah bahagia? Trending dimana-mana, tetapi gara-gara aksinya yang menyimpang lalu dihujat sana-sini, bahkan ditiru oleh anak-anak kecil. Bukan hanya dia yang buruk, tetapi dia juga memberi contoh keburukan bagi yang lainnya. Dosa pun akan berlipat-lipat.
Sistem yang berlaku sekarang, memberi ruang tumbuh bagi segala jenis kejahatan dan keburukan. Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, meniscayakan manusia membuat aturannya sendiri. Manusia sendiri yang menentukan baik-buruknya sesuatu berdasarkan manfaat/materi. Padahal, pemikiran manusia amat lemah dan dipenuhi hawa nafsu.
Tak pelak, sistem rusak ini mendorong manusia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Kepentingan pribadi atau golongan, di atas segalanya. Tak memedulikan kesusahan orang lain akibat ulahnya, asalkan kebutuhannya tercukupi dan keinginannya teraih.
Sistem kehidupan ini membuat manusia lupa pada hakikat dunia dan keberadaannya. Tak ingat bahwa dunia hanya sementara. Berlaku seolah ia akan hidup selamanya. Merasa kebahagiaan adalah dengan tercapai segala yang diinginkannya. Berpikir hanya untuk saat ini saja. Tak sadar mati akan datang sewaktu-waktu, bahkan tanpa memberi kabar lebih dahulu.
Sungguh, bila manusia mati, tak ada satu pun yang dibawa. Harta yang melimpah, keluarga, jabatan, semua tak bisa menemaninya di dalam kubur sana. Popularitasnya di dunia sama sekali tiada guna. Tak ada yang bisa membantu kecuali amal-amalnya.
Haruslah disadari bahwa setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya. Semua yang dilakukan di dunia pasti akan ditanya. Mulut tak akan bisa berbohong, begitu pula anggota tubuh yang lainnya. Kejujuran akan menampakkan dirinya.
Media sosial sejatinya hanyalah alat bagi manusia. Ia bisa menjadi baik atau buruk bergantung manusia yang menggunakannya. Ia bisa menjadi ladang pahala atau ladang dosa. Bijak dalam memilih agar tak menyesal di kemudian hari.
Baik-buruk bukan karena standar manfaat yang ada. Benar-salah bukan sekehendak kita. Banyak belum tentu benar, sedikit belum tentu salah, demikian pula sebaliknya. Penilaian adalah ketetapan Allah SWT., Sang Maha Esa.
Terkenal tapi di jalan yang salah, terus untuk apa? Jangan harap mendapatkan kebahagiaan sejati. Lebih baik manfaatkan media sosial sebagai sarana dakwah di jalanNya. Sudah pasti baik dan berpahala.
Wallahu a’lambishshawwab.
[lnr/LM]