Tambah Utang untuk Proyek Kereta Cepat, Apakah untuk Rakyat? 

Oleh: Yulweri Vovi Safitria 

 

Lensa Media News –Utang adalah ibu dari kebodohan dan kejahatan yang produktif.” (Benjamin Desraeli)

Sudah setahun lebih pandemi melanda negeri. Namun, tanda-tanda ke arah berakhirnya tak kunjung nampak. Justru pandemi kian menjadi, ditambah lagi munculnya varian baru dari corona, virus Delta yang disebutkan lebih ganas dari Covid-19. Strategi pemerintah dalam memutuskan rantai penyebaran belum membuahkan hasil. Bahkan kasus kematian di Indonesia meningkat tajam, sebanyak 1.007 jiwa perhari, menyalip India di angka 720 jiwa. Tercatat, kematian di Indonesia akibat covid-19 menduduki posisi tertinggi di dunia.

Ironis, di tengah wabah yang menggila, pemerintah tetap menggarap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, dan kembali menambah utang ke Cina agar proyek tersebut cepat selesai. Hal tersebut mendapat kritikan dari mantan Menpora Roy Suryo dalam akun Twitternya. Menurutnya, pemerintah selalu ‘jualan’ proyek infrastruktur yang pada akhirnya harus dijual beneran, sementara tenaga kesehatan yang meninggal sudah 1000 lebih. Ia menilai bahwa pemerintah tidak fokus dalam mengatasi pandemi (Portonews.com, 10/07/2021).

Sebagaimana diketahui, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung menimbulkan sejumlah masalah, mulai dari pembebasan lahan yang belum terselesaikan, juga manajemen proyek yang tidak baik. Jika melihat lebih jauh, proyek kereta cepat ini bukanlah untuk masyarakat umum, tentunya ditujukan bagi mereka yang punya mobilitas tinggi terhadap kedua kota tersebut. Sementara rakyat yang diambil lahannya, hanya bisa melihat fakta bahwa apa yang diciptakan oleh pemerintah tidak memberikan manfaat bagi mereka. Tidak hanya itu, tumpukan utang dan tambahan utang baru justru makin memperburuk keadaan, karena semakin bertambah beban keuangan negara. Sedangkan keuangan negara bersumber dari pajak yang notabene berasal dari rakyat.

 

Proyek KCJB untuk Siapa

Berjalannya proyek KCJB di masa PPKM juga patut dipertanyakan. Pemerintah dianggap lebih mementingkan korporasi dibandingkan nasib jutaan rakyat Indonesia. Kenapa tidak, proyek KCJB di tengah pandemi justru dikhawatirkan berpotensi terjadinya penularan.

Sementara itu, pedagang kecil yang berusaha untuk menyambung hidup mereka dipaksa untuk taat aturan PPKM. Aturan tersebut tentu kontra produktif dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah. Maka jangan disalahkan, apabila masyarakat beranggapan bahwa kebijakan pemerintah tidak pro rakyat, dan pada akhirnya masyarakat tidak lagi percaya dengan pemerintah.

 

Skala Prioritas

Melihat tingginya jumlah kasus Covid-19, sudah seharusnya pemerintah fokus dan memprioritaskan penanganannya. Karena wabah ini bukan problem orang per orang melainkan problem bangsa juga beberapa negara di dunia. Penanganan wabah ini butuh konsentrasi penuh dari pemerintah, dan menjadi prioritas utama untuk diselesaikan. Maka tidak elok rasanya, saat rakyat berhadapan dengan wabah, himpitan ekonomi akibat badai PHK, dan tingginya harga-harga, sedangkan pemerintah tetap melanjutkan proyek KCJB.

Ya, materi menjadi skala prioritas saat ini. Karena alasan ekonomi jugalah pemerintah tidak bersedia lockdown saat pertama kali virus ini ditemukan di Indonesia. Bahkan pemerintah memberikan diskon untuk sektor pariwisata dan diduga juga membayar influencer untuk meredam opini tentang Covid-19.

Hal ini tentu berbeda dengan Islam. Dalam Islam skala prioritas adalah rida Allah Swt.. Maka setiap tindakan seseorang terikat dengan hukum syara. Begitu juga dengan kehidupan bernegara. Negara bertanggung jawab terhadap rakyatnya, apalagi masa pandemi seperti saat ini, betapa rakyat butuh perlindungan dan penyelesaian yang optimal, dibandingkan yang lainnya.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. al-Bukhari).

Wallahu a’lam bishshawab.

 

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis