Gara-Gara Iklan, Panic Buying Tak Terelakkan

Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd.

 

Lensa Media News – Masih teringat dalam benak ini dengan kejadian panic buying pada masa-masa awal pandemi menyerbu Indonesia. Seluruh alat kesehatan dan bahan pokok menjadi incaran sebagian besar masyarakat dan termasuk first list untuk segera dipenuhi.

Khususnya pada stok masker, hand sanitizer, dan vitamin C menjadi langka untuk dicari akibat panic buying ini. Beras, gula, minyak dan sejumlah bahan pokok yang bisa ditimbun lebih lama juga tak terlewatkan dalam daftar belanja.

Masyarakat heboh dan akhirnya membeli alat kesehatan serta sejumlah bahan pokok tersebut dalam jumlah banyak tanpa memikirkan nasib orang lain yang lebih membutuhkan pada saat itu.

Kejadian panic buying nyatanya terjadi lagi pada musim pandemi saat ini. Kasus semakin melonjak dan stok alat kesehatan menipis. Masyarakat kemudian mencoba untuk bisa bertahan dengan makanan atau minuman yang dirasa bisa membantu menjaga staminanya. Diantaranya adalah dengan minum susu, vitamin, serta minuman dan makanan bergizi lainnya.

Pada awal pemberlakuan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat kemarin yang bertepatan dengan hari Sabtu (3/7/2021), media sosial dihebohkan dengan video yang memperlihatkan sejumlah orang di supermarket X saling berebut untuk membeli susu beruang atau susu “bear brand”. Hal itu sampai menjadi trending topic di twitter dengan hastag #BearBrand.

Terlihat di dalam video tersebut antara satu calon pembeli dengan pembeli lainnya tidak lagi memperhatikan protokol kesehatan yang baik. Dengan berebutnya calon pembeli ini sangat disayangkan jika ternyata muncul klaster baru akibat dari salah seorang di atara mereka yang positif atau OTG.

Beredarnya video tersebut membuat salah satu pakar gizi dan pendiri Remanlay Institute, dr. Tan Shot Yen, mengomentari terkait panic buying susu bear brand ini. Ia mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan panic buying terjadi.

Pertama, publik dibuat salah asumsi terhadap iklan yang dihubung-hubungkan antara nalar dan literasi yang seadanya. Sehingga asumsi ini dijadikan sebagai pembenaran.

Kedua, klaim yang berlebihan dari iklan suatu produk yang sampai saat ini belum dibenahi. Seperti susu peninggi badan atau penambah berat badan.

Ketiga, literasi gizi masyarakat masih sangat minim, sehingga ada kepercayaan-kepercayaan tertentu yang dijadikan opini publik. Karena sudah menjadi konsumsi publik, maka yang seharusnya mitos malah dijadikan kebenaran. Sebaliknya, yang sudah menjadi fakta ilmiah malah tidak digubris.

Keempat, dr. Tan melihat bahwa masyarakat Indonesia seringkali tidak mau ribet untuk berpikir dengan nalar. Jadi kalau misal sakit, maka yang dicari langsung solusi bukan evaluasi terlebih dahulu. Inilah yang menjadi peluang para pedagang untuk mengkapitalisasi harga.

Dr. Tan juga menyebutkan bahwa susu evaporasi, UHT, dan susu cair sejenis semuanya sama saja sesuai dengan komposisi yang ada di labelnya. Tidak ada studi ilmiah yang menyebutkan konsumsi susu tertentu untuk mencegah Covid-19. Yang perlu diperhatikan adalah protokol kesehatan yang ketat (liputan6.com, 4/7/2021)

Fenomena panic buying juga bisa terjadi akibat seseorang latah dengan kondisi sekitarnya. Latah karena melihat orang lain belanja yang banyak yang kemudian berasumsi jika barang yang dibelinya akan menjadi barang langka. Akhirnya ikut-ikutan membeli suatu barang dalam jumlah banyak juga.

Ditambah lagi dengan munculnya iklan-iklan di TV keluarga yang terus menerus dipertontonkan. Dengan frekuensi yang sering inilah, masyarakat seolah-olah dituntut untuk berlaku konsumtif.

Latah inilah yang menyebabkan fenomena panic buying ada. Padahal membeli barang dalam jumlah banyak dengan alasan takut kehabisan justru akan menimbulkan keresahan pada sebagian orang.

Jika memang dirasa itu adalah kebutuhan yang mendesak mungkin tidak masalah membeli dalam jumlah banyak. Akan tetapi, jika hanya menuruti keinginan atau perasaan takut kehabisan maka ini yang harus dihindari. Terlebih lagi jika memiliki niat untuk menimbun agar stok di pasaran habis dan akhirnya membeli di dirinya. Jika seperti itu, sama saja seperti sifat para tengkulak kapitalis yang merusak harga pasar.

Oleh karena itu, dengan diberlakukannya PPKM ini maka pemerintah juga harus ekstra dalam menyiapkan segala kebutuhan pokok serta mengontrol arus distribusinya. Bukan hanya menyalahkan masyarakat dengan tuntutan berdiam diri saja tapi kebutuhannya tidak ada yang menjamin. Akibatnya masyarakat pun panik dan bingung untuk bisa bertahan hidup.

 

[ra/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis