Tren Psikopat: Jadi Psikopat kok Bangga?
Oleh: Neng Ipeh
(Aktivis BMI Community Cirebon)
Serbu – Sobat milenial, pernah dengarkah kata psikopat? Belakangan ini kata psikopat ramai sekali diperbincangkan. Bahkan nih ya, selama masa pandemi Covid-19, sejumlah orang enggan mematuhi aturan pencegahan penularan virus corona. Seperti tidak memakai masker, tidak melaksanakan aturan jarak sosial, mencuci tangan, batuk sembarangan, meludah sembarangan terkategori psikopat. Waduh kan serem tuh!
Lantas, apa itu psikopat? Psikopat (psychopath), atau sering disebut dengan psycho, adalah gangguan mental yang ditandai dengan kurangnya empati dan kontrol perilaku yang buruk atau impulsif. Sikap ini mengakibatkan penderitanya memiliki perilaku antisosial, serta cenderung melanggar aturan dan melakukan tindak kriminal, termasuk kekerasan (Health.detik.com, 06/06/2021).
Menurut para ahli psikologi, psikopat sebenarnya adalah bagian dari gangguan kepribadian antisosial (antisocial personality disorder/APD). Beberapa ahli menyebut, psycho dan APD memiliki pengertian yang sama, tetapi sebagian lainnya menilai psikopat merupakan bentuk dari APD yang parah. Seorang psikopat sebenarnya tidak peduli dengan perasaan orang lain. Karena itulah, banyak di antara mereka yang melakukan hal tak bermoral, sering berbohong, bahkan tindakan kriminal tanpa penyesalan dan rasa bersalah.
Dengan keterbatasan kemampuan menganalisis itulah, maka dapat dipahami jika anak kemudian kurang mampu memilah dan menyeleksi hal-hal yang patut ditiru atau tidak. Tayangan yang tidak sehat, perilaku teman sebaya yang tidak layak, bahkan juga nih ya tragisnya, perilaku orang tua yang tidak pantas. Dengan gampangnya ditiru dan terinternalisasi dalam kehidupan anak. Jika mau jujur, tidak sulit sebenarnya untuk menemukan akar perilaku kekerasan yang begitu keji dilakukan anak-anak zaman sekarang, khususnya mereka yang sedang merambah di usia remaja.
Psikolog dari Universitas Gajah Mada, Bagus Riyono mengatakan tumbuh kembang psikopatologi atau penyakit mental dalam diri seseorang dapat dilacak. Yakni dengan mengetahui rekam jejak masa lalunya. “Kapan tumbuh psikopatologi itu bisa dilacak ke masa lalu dan itu juga tidak langsung berat seperti itu. Tapi rasa itu timbul sedikit demi sedikit. Awalnya hati nuraninya masih ada getaran tapi lama kelamaan semakin hilang semakin hilang, atau empatinya hilang dan bahkan dia justru dapat menikmatinya.” Jadi, pembeda psikopat dari manusia normal adalah adanya hati nurani. Psikopat dikenal sebagai orang yang tidak memiliki hati nurani atau empati, sehingga meski tindakan yang dilakukan dapat merugikan orang lain, ia justru tidak merasa bersalah. Memiliki rasa superioritas alias merasa paling unggul dan memamerkan keunggulannya tersebut secara berlebihan (Alodokter.com, 06/06/2021).
Adanya paham kebebasan yang diusung oleh ideologi kapitalisme-sekuler telah menjadikan tayangan kekerasan yang bahkan beraroma seksual, banyak ditemukan dalam berbagai media elektronik dan digital setiap hari di zaman ini. Area pendidikan yang semestinya merupakan area untuk membentuk mereka menjadi manusia sempurna yang bertakwa, justru malah terjadi ketidakseimbangan dan lepas kontrol. Apalagi ditambah dengan lemahnya pemahaman orang tua terhadap ajaran Islam.
Akibatnya banyak anak yang akhirnya terbentuk menjadi anak yang miskin dalam kemampuan sosial dan dalam perkembangan psikologisnya. Maka tidak mengherankan jika mereka tumbuh menjadi anak yang mengalami kesulitan dalam mengelola emosi dan keinginan diri, serta menjadi sosok yang gagal berempati terhadap penderitaan orang lain. Bahkan tragisnya justru mereka memperoleh kesenangan lewat penderitaan orang lain tersebut. Ini menjadikan mereka mudah marah, mudah lemah, senang memaki, gemar mem-bully dan melabeli, agresif, putus asa, posesif, bucin, split personality, mental disorder, dan perilaku-perilaku negatif lainnya. Miris ya!
Sebagai generasi milenial dan sekaligus seorang muslim, menghadapi fenomena yang menyeramkan seperti ini tentu tidak bisa berdiam diri begitu saja. Sehingga dakwah membongkar kebobrokan sistem sekuler harus terus digencarkan. Supaya tidak semakin bertambah manusia-manusia yang justru merasa bangga atas kesalahan yang telah mereka lakukan. Karena hanya Islam satu-satunya agama dan sistem hidup yang lurus, sesuai fitrah penciptaan, menyejahterakan, dan mampu mewujudkan rahmat hakiki sebagaimana yang didambakan. Top of Form Bottom of Form.
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]